Liputan6.com, Jakarta - Bagi banyak negara, metaverse dan dunia virtual banyak dilirik sebagai opsi untuk mendukung pelayanan publik, atau dalam rangka mendukung pariwisata.
Namun bagi pemerintahan Tuvalu, dunia digital dilirik demi menyelamatkan budaya dan sejarah dari negara kepulauan itu, yang disebut-sebut terancam tenggelam.
Baca Juga
Beberapa waktu lalu, Simon Kofe, Menteri Luar Negeri Tuvalu, mengatakan di KTT Iklim COP27, negara itu melirik metaverse sebagai media untuk melestarikan budaya dan sejarahnya di tengah naiknya permukaan laut.
Advertisement
"Saat tanah kami menghilang, kami tidak punya pilihan selain menjadi negara digital pertama di dunia," kata Kofe dalam sebuah video, seperti dikutip dari Engadget, Senin (28/11/2022).
"Tanah kami, lautan kami, budaya kami adalah aset paling berharga dari rakyat kami. Dan untuk menjaga mereka aman dari bahaya, apa pun yang terjadi di dunia fisik, kami akan memindahkan mereka ke cloud," kata Kofe.
Di video itu, diperlihatkan juga kamera perlahan-lahan menjauh dari Kofe yang tampak berbicara di sebuah pulau, di mana ini mengungkapkan dia sebenarnya sedang berada di depan greenscreen.
Dalam pidatonya di COP27, Menlu Tuvalu itu juga menyebut metaverse dapat dibingkai sebagai rumah potensial bagi semua negara, jika tidak ada upaya global untuk mengatasi masalah itu.
Â
Rumah Potensial Bagi Semua Negara
"Hanya upaya global bersama yang dapat memastikan bahwa Tuvalu tidak berpindah secara online secara permanen dan menghilang selamanya dari bidang fisik," kata Kofe.
"Tanpa hati nurani global dan komitmen global untuk kesejahteraan kita bersama, kita akan segera menemukan seluruh dunia bergabung dengan kami secara online saat tanah mereka menghilang," imbuhnya.
Dalam KTT COP26 tahun lalu, Kofe juga disorot karena berpidato sambil berdiri di tengah air laut setinggi lutut, untuk menyoroti ancaman perubahan iklim terhadap negara kepulauan seperti Tuvalu.
Tuvalu merupakan negara kepulauan yang terdiri dari sembilan pulau yang terletak di antara Australia dan Hawaii.
Negara ini berisi sekitar 12 ribu orang. Namun, ilmuwan mengkhawatirkan bahwa seluruh negara bisa terancan tenggelam di akhir abad 21, sebagai akibat dari perubahan iklim.
Advertisement
Meta Rela Rugi Besar Demi Wujudkan Metaverse
Di sisi lain, Meta tampaknya benar-benar tidak main-main untuk mewujudkan ambisi mereka membangun metaverse, bahkan sampai menyebabkan kerugian besar bagi perusahaan. Hal ini seperti tercatat dalam laporan pendapatan terbarunya.
Reality Labs, divisi proyek realitas virtual Meta, tercatat kehilangan USD 3,7 miliar pada kuartal tiga (Q3) tahun 2022, naik dari kerugian USD 2,6 milari tahun lalu dan USD 2,8 miliar di kuartal terakhir.
Kepala keuangan Meta pun menyebut, tren ini mungkin tidak akan bisa berbalik dalam waktu dekat.
"Kami mengantisipasi bahwa kerugian operasional Reality Labs pada tahun 2023 akan tumbuh secara signifikan dari tahun ke tahun," kata CFO Dave Whener, seperti mengutip Engadget, Kamis (27/10/2022).
Investasi Meta di Reality Labs benar-benar mahal bagi perusahaan. Di awal tahun ini, mereka melaporkan kehilangan USD 10 miliar untuk Reality di tahun 2021.
Â
Bakal Membuahkan Hasil
Namun, CEO Mark Zuckerberg mengatakan, investasi dalam "platform komputasi tingkat lanjut" akan tetap menjadi prioritas utama mereka.
"Ini adalah usaha besar dan seringkali membutuhkan beberapa versi dari setiap produk sebelum menjadi mainstream," kata pendiri Facebook itu.
"Tapi saya pikir pekerjaan kita di sini akan jadi sejarah penting dan menciptakan fondasi untuk cara yang sama sekali baru di mana kita akan berinteraksi satu sama lain dan memadukan teknologi dalam kehidupan kita," kata CEO Meta itu.
Namun, Zuckerberg juga mengklaim investasi besar-besaran Meta di metaverse bakal membuahkan hasil.
Investor sendiri disebutkan tetap skeptis terhadap penekanan Zuckerberg dengan metaverse, dengan salah satu pemegang saham besar mengatakan di awal pekan ini bahwa perusahaan telah "kehilangan kepercayaan investor."
Skeptisisme ini juga hadir dalam panggilan pendapatan kuartal ketiga Meta dengan para analis.
"Ada perbedaan antara sesuatu yang eksperimental dan tidak tahu bagaimana sesuatu akan berakhir baik akhirnya," kata Zuckerberg menjawab keraguan dan pertanyaan para analis.
"Pekerjaan metaverse adalah serangkaian upaya jangka panjang yang sedang kami kerjakan. Tapi, saya tidak tahu, saya pikir itu akan berhasil juga," imbuhnya.
(Dio/Ysl)
Advertisement