AS Kembangkan Pesawat Tempur Tanpa Pilot 'Berotak' AI, Ungguli China?

Bagaimana penggunaan AI pada militer membawa dampak besar dalam taktik perang, budaya militer, dan industri pertahanan?

oleh M. Labib Fairuz Ibad diperbarui 29 Agu 2023, 10:30 WIB
Diterbitkan 29 Agu 2023, 10:30 WIB
Pesawat Tempur XQ 58A Valkyrie milik Amerika Serikat yang dibekali Kecerdasan Buatan AI
Pesawat Tempur XQ 58A Valkyrie milik Amerika Serikat yang dibekali Kecerdasan Buatan AI (Sumber: YouTube/AFResearchLab)

Liputan6.com, Jakarta - Di era teknologi yang semakin canggih, kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) telah mengambil peran penting dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk militer. Salah satu perkembangan terbaru dalam penggunaan AI dalam militer adalah pengenalan pesawat tempur tanpa pilot yang dikenal sebagai XQ-58A Valkyrie.

Tekno Liputan6.com merangkum dari The New York Times, Selasa (29/8/2023), tentang bagaimana AI digunakan dalam militer, khususnya pada pengembangan pesawat tempur tanpa pilot, serta dampaknya dalam perang modern.

Pesawat eksperimental XQ-58A Valkyrie yang dimiliki oleh Angkatan Udara Amerika Serikat (AS) menunjukkan bagaimana teknologi AI dapat memperluas kapabilitas militer.

Pesawat ini bukan hanya sekadar pesawat tanpa pilot biasa. Di dalamnya terdapat AI yang mengendalikannya, menjadikannya pesawat generasi baru yang memiliki potensi besar untuk mendukung pesawat tempur konvensional dalam pertempuran.

Tujuan utama Valkyrie adalah menggabungkan teknologi AI dan sensor-sensornya untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi ancaman musuh. Setelah mendapatkan persetujuan dari pilot manusia, pesawat ini dapat melancarkan serangan terhadap target musuh.

Dengan teknologi ini, militer dapat mengirimkan pasukan pesawat tempur tanpa pilot yang sangat andal untuk mendukung pilot manusia dalam pertempuran.

Penting untuk menyadari bahwa perubahan dalam taktik perang sangat diperlukan mengingat kemajuan teknologi musuh. Tidak dapat diandalkan lagi bahwa pesawat tempur konvensional akan selalu mendominasi medan pertempuran.

Dalam skenario konflik skala besar dengan China, terutama melibatkan invasi Taiwan, pesawat tempur dan sistem senjata yang ada saat ini mungkin tidak cukup efektif.

China telah memasang ribuan rudal anti-kapal dan anti-pesawat di sepanjang pantainya, mengurangi kemampuan AS untuk merespons invasi Taiwan tanpa kerugian besar di udara dan laut.

Oleh karena itu, pengembangan pesawat tempur tanpa pilot dengan teknologi AI menjadi strategi yang menjanjikan.

Rencananya, Angkatan Udara Amerika Serikat akan membangun 1.000 hingga 2.000 pesawat semacam ini dengan biaya yang jauh lebih rendah daripada pesawat tempur canggih.

Pesawat ini akan memiliki berbagai fungsi, mulai dari misi pengawasan hingga serangan dalam kelompok. Dengan adanya pesawat-pesawat ini, militer dapat menghadirkan "pendamping setia" bagi pilot manusia di medan pertempuran.

Bagaimana Cara Kerjanya?

AI
Ilustrasi tools AI yang bisa digunakan untuk memudahkan proses pembuatan konten. (unsplash/Steve Johnson)

Dalam pesawat tempur tanpa pilot seperti Valkyrie, AI bekerja dengan mengumpulkan dan mengevaluasi informasi dari berbagai sensor saat mendekati kekuatan musuh.

AI akan mengidentifikasi ancaman dan target berharga, dan setelah mendapat persetujuan dari pilot manusia, AI dapat meluncurkan serangan dengan membawa bom atau rudal.

Meskipun teknologi ini menjanjikan, perlu diakui bahwa AI tidak sempurna seperti manusia. AI juga bisa melakukan kesalahan, dan tidak memiliki pandangan moral bawaan. Oleh karena itu, pesawat tempur tanpa pilot ini akan terus diawasi dan dikembangkan untuk mengatasi tantangan-tantangan ini.

Pengenalan pesawat tempur tanpa pilot dengan teknologi AI menandai perubahan besar dalam cara Angkatan Udara memperoleh peralatan pentingnya. Daripada hanya mengandalkan kontraktor konvensional, militer kini lebih fokus pada pengembangan perangkat lunak yang dapat meningkatkan kemampuan sistem senjata.

Hal ini juga membuka peluang bagi perusahaan teknologi baru untuk berkontribusi dalam anggaran pengadaan militer.

Namun, ada juga keprihatinan mendalam terkait penggunaan militer AI. Beberapa khawatir bahwa teknologi ini dapat menjadi ancaman jika tidak dikendalikan dengan baik, seperti yang terjadi dalam film-film fiksi ilmiah.

Pihak militer pun menyadari pentingnya memastikan bahwa penggunaan teknologi AI ini tetap dalam kendali manusia dan mematuhi prinsip-prinsip etika.

Apa pengaruhnya?

Perjuangan Tentara Medis Militer Ukraina di Medan Pertempuran Melawan Rusia
Petugas medis militer memberikan pertolongan pertama kepada tentara yang terluka (kanan) dan memasukkan jenazah tentara yang tewas ke dalam tas dekat Kremenna di wilayah Luhansk, Ukraina, 16 Januari 2023. Hingga saat ini pejabat Ukraina menolak untuk mengonfirmasi jumlah korban dalam perangnya dengan Rusia, setelah ketua Komisi Uni Eropa pada akhir November 2022 lalu memperkirakan bahwa "lebih dari 20.000 warga sipil dan 100.000 tentara Ukraina telah tewas di Ukraina hingga saat ini." (AP Photo/LIBKOS)

Transformasi penggunaan kecerdasan buatan dalam militer, terutama dalam pesawat tempur tanpa pilot, adalah langkah besar menuju perubahan paradigma pertempuran udara.

Dengan menggabungkan teknologi AI dengan kemampuan manusia, militer dapat menghadirkan pasukan yang lebih cakap dan fleksibel di medan pertempuran.

Meskipun tantangan dan perubahan yang harus dihadapi, langkah ini menunjukkan komitmen militer untuk memanfaatkan teknologi terbaru demi keamanan dan keunggulan dalam pertempuran masa depan.

Gara-gara pengembangan AI untuk militer semacam ini, Google pernah diprotes oleh ribuan karyawan.

Google Diprotes Ribuan Karyawan Gara-Gara Kembangkan AI untuk Militer

Google Plex
Suasana kantor pusat Google di Googleplex, Mountain View, Palo Alto, California. Liputan6.com/Jeko Iqbal Reza

Ribuan karyawan mengirimkan surat permohonan ke CEO Google Sundar Pichai untuk menghentikan dukungan teknologi artificial intelligence (AI) untuk kepentingan militer.

Dukungan AI yang dimaksud adalah pengembangan teknologi AI Google untuk meningkatkan akurasi serangan militer lewat drone.

"Kami percaya Google tidak perlu masuk pada bisnis yang berkaitan dengan perang," demikian bunyi salinan surat permohonan yang ditandatangani oleh karyawan perusahaan, sebagaimana dikutip Tekno Liputan6.com dari Business Insider Singapura, Sabtu (7/4/2018).

Para karyawan yang tanda tangan merupakan perwakilan dari karyawan Alphabet yang mencapai 70 ribu orang.

Mereka menuntut Google menarik diri dari Project Maven. Proyek ini merupakan pilot program dari Pentagon. Karyawan pun meminta agar perusahaannya tidak akan pernah lagi mengembangkan teknologi yang bisa dimanfaatkan untuk peperangan.

Juru bicara Google dalam keterangannya menyebut, "Kami tahu banyak pertanyaan terkait dengan teknologi baru ini, sehingga dengan adanya obrolan bersama karyawan dan ahli dari luar ini sangat penting dan bermanfaat."

Sekadar diketahui, bulan lalu Google mengagetkan banyak pihak baik di dalam maupun luar perusahaan saat mengkonfirmasi pihaknya menyediakan teknologi AI untuk militer AS.

Berdasarkan keterangan para ahli, teknologi AI ini bisa digunakan untuk menarget lokasi serangan dengan lebih jitu.

Infografis Kekuatan Militer Israel (Liputan6.com/M. Iqbal ARS)

Infografis Kekuatan Militer Israel (Liputan6.com/M. Iqbal ARS)
Infografis Kekuatan Militer Israel (Liputan6.com/M. Iqbal ARS)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya