Aktivitas cetak-mencetak kini tak hanya menyalin sebuah dokumen di atas kertas. Teknologi yang kian melangkah ke depan, mampu mewujudkan semua imajinasi yang ada dalam pikiran menjadi kenyataan dan dapat dirasakan dengan sentuhan.
Salah satu teknologi yang mampu mewujudkan itu semua adalah alat pencetak tiga dimensi alias printer 3D. Teknologi ini dapat mencetak rupa dari sebuah desain secara digital menjadi bentuk 3D yang tidak hanya dapat dilihat tapi juga dipegang dan memiliki volume.
Hal menarik dari teknik pencetakan 3D adalah di mana seseorang mampu membuat suatu produk dengan meniru atau reverse enginering produk lain. Diawali dengan proses scanning model, menyimpannya sebagai file digital, dan kemudian mereproduksinya dengan cepat.
Mampu Mengolah Berbagai Jenis Bahan
Cara kerjanya bisa dibilang sama dengan printer konvensional, bedanya printer ini tidak mencetakkan tinta ke atas kertas, namun materi berupa plastik, bubuk gipsum, kayu, dan metal. Salah satu materi yang kerap digunakan adalah acrylonitrile butadiene styrene (ABS).
Bahkan kini printer 3D tak hanya mampu menghasilkan prototipe atau modeling produk akhir. Teknologi cetak tiga dimensi sekarang mampu mengolah berbagai jenis bahan. Dari bahan cair ke padat, yang mana bahan cair akan dipadatkan terlebih dahulu dan bahan yang telah mengandung warna memungkinkan Anda untuk berinovasi dengan cepat.
Di Indonesia sendiri sudah banyak pengrajin seni dan produsen menggunakan printer 3D untuk membuat prototipe karena biayanya lebih murah dan lebih fleksibel ketimbang membeli atau menyewa mesin yang hanya dapat memproduksi satu atau dua item komponen.
Ditemukannya Proses Pelelehan Material
Jika ditilik dari sejarahnya, sebenarnya teknologi printer 3D sudah ada sejak tahun 80-an. Pencetakan 3D pertama kali diterapkan oleh penemu sistem 3D yaitu Charles Hull pada tahun 1984. Lalu pada tahun 1986, Hull mengajukan gagasan stereo lithography, sebuah metode membuat objek solid dengan cara mencetak lapisan tipis dan menyusunnya secara bertingkat.
Dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1988, penemu asal Inggris Scott Crump menemukan teknologi Fused Deposition Modeling (FDM) yaitu metode pembuatan prototipe dengan proses pelelehan material. Teknologi yang ditemukan Crump memiliki peran penting dalam perkembangan teknologi pencetakan 3D, di mana mampu mengubah material yang padat menjadi lunak.
Pada tahun 1993, Massachusetts Institute of Technology (MIT) mengembangkan teknologi printer 3D dengan mematenkan teknik pencetakan tiga dimensi yang memodifikasi teknologi printer dua dimensi. Dan pada tahun 1996, printer 3D diproduksi oleh Z Corp, Stratasys, dan 3D Systems, yang selanjutnya dipamerkan ke publik untuk pertama kalinya.
Sejak saat itu, kemampuan printer 3D semakin dikembangkan, terutama dari sisi hasil pencetakan. Pada tahun 2003, penggunaan printer 3D pun semakin luas dan mencakup berbagai bidang. Dari mulai bidang arsitekstur, otomotif, furnitur, dirgantara, medis, hingga pendidikan. Dari situlah muncul beragam peranti lunak open source yang semakin memudahkan proses pencetakan 3D. (isk)
Bersambung...
Salah satu teknologi yang mampu mewujudkan itu semua adalah alat pencetak tiga dimensi alias printer 3D. Teknologi ini dapat mencetak rupa dari sebuah desain secara digital menjadi bentuk 3D yang tidak hanya dapat dilihat tapi juga dipegang dan memiliki volume.
Hal menarik dari teknik pencetakan 3D adalah di mana seseorang mampu membuat suatu produk dengan meniru atau reverse enginering produk lain. Diawali dengan proses scanning model, menyimpannya sebagai file digital, dan kemudian mereproduksinya dengan cepat.
Mampu Mengolah Berbagai Jenis Bahan
Cara kerjanya bisa dibilang sama dengan printer konvensional, bedanya printer ini tidak mencetakkan tinta ke atas kertas, namun materi berupa plastik, bubuk gipsum, kayu, dan metal. Salah satu materi yang kerap digunakan adalah acrylonitrile butadiene styrene (ABS).
Bahkan kini printer 3D tak hanya mampu menghasilkan prototipe atau modeling produk akhir. Teknologi cetak tiga dimensi sekarang mampu mengolah berbagai jenis bahan. Dari bahan cair ke padat, yang mana bahan cair akan dipadatkan terlebih dahulu dan bahan yang telah mengandung warna memungkinkan Anda untuk berinovasi dengan cepat.
Di Indonesia sendiri sudah banyak pengrajin seni dan produsen menggunakan printer 3D untuk membuat prototipe karena biayanya lebih murah dan lebih fleksibel ketimbang membeli atau menyewa mesin yang hanya dapat memproduksi satu atau dua item komponen.
Ditemukannya Proses Pelelehan Material
Jika ditilik dari sejarahnya, sebenarnya teknologi printer 3D sudah ada sejak tahun 80-an. Pencetakan 3D pertama kali diterapkan oleh penemu sistem 3D yaitu Charles Hull pada tahun 1984. Lalu pada tahun 1986, Hull mengajukan gagasan stereo lithography, sebuah metode membuat objek solid dengan cara mencetak lapisan tipis dan menyusunnya secara bertingkat.
Dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1988, penemu asal Inggris Scott Crump menemukan teknologi Fused Deposition Modeling (FDM) yaitu metode pembuatan prototipe dengan proses pelelehan material. Teknologi yang ditemukan Crump memiliki peran penting dalam perkembangan teknologi pencetakan 3D, di mana mampu mengubah material yang padat menjadi lunak.
Pada tahun 1993, Massachusetts Institute of Technology (MIT) mengembangkan teknologi printer 3D dengan mematenkan teknik pencetakan tiga dimensi yang memodifikasi teknologi printer dua dimensi. Dan pada tahun 1996, printer 3D diproduksi oleh Z Corp, Stratasys, dan 3D Systems, yang selanjutnya dipamerkan ke publik untuk pertama kalinya.
Sejak saat itu, kemampuan printer 3D semakin dikembangkan, terutama dari sisi hasil pencetakan. Pada tahun 2003, penggunaan printer 3D pun semakin luas dan mencakup berbagai bidang. Dari mulai bidang arsitekstur, otomotif, furnitur, dirgantara, medis, hingga pendidikan. Dari situlah muncul beragam peranti lunak open source yang semakin memudahkan proses pencetakan 3D. (isk)
Bersambung...