Liputan6.com, Jakarta - Harapan pemerintah dapat meningkatkan pendapatan negara melalui kenaikan royalti Izin Usaha Pertambangan (IUP) batu bara, dinilai tidak akan berjalan dengan baik. Yang terjadi justru sebaliknya, pemerintah akan kekurangan pendapatan serta dampak lain yang terjadi di industri pertambangan batu bara.
Hal tersebut disampaikan Irwandy Arief, guru besar Pertambangan di Institut Teknologi Bandung (ITB). Menurut mantan Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) itu, kenaikan royalti batu bara sebaiknya dilakukan berdasarkan indeks harga batu bara. Dengan demikian, baik pengusaha maupun pemerintah tidak akan dirugikan. Hal itu karena besaran royalti sesuai dengan harga yang beredar di pasaran internasional.
Oleh karena itu, soal rencana pemerintah menaikan royalti batu bara IUP juga Perjanjian karya pengusahaan batu bara (PKP2B) generasi 2 dan 3, dinilai tidak tepat dilakukan sekarang ini. “Dalam kondisi sekarang ini, sebaiknya menunggu perbaikan harga batu bara,” ujar Irwandy, seperti ditulis Selasa (8/7/2014).
Namun lagi-lagi ia mengatakan, yang paling ideal adalah berdasarkan indeks harga batu bara. Seperti diketahui, rencana kenaikan royalti batu bara untuk pemegang IUP batu bara dilakuakn melalui revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 9 Tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak. Dalam rencana revisi PP tersebut, royalti IUP batu bara akan dinaikan setara dengan pemegang PKP2B, 13,5%.
Dengan kenaikan tersebut, penerimaan pemerintah daerah akan mengalami kenaikan. Namun sebaliknya pemerintah pusat akan mengalami kekurangan pendapatan. Dampak lainnya, akan ada kekurangan dana untuk kegiatan Corporate Sosial Responsibility (CSR) dan dampak yang lebih besar adalah penurunan jumlah karyawan, karena perusahaan harus melakukan efisiensi.
“Untuk menjaga pendapatan pemerintah, (sebaiknya) pemerintah melakukan penertiban ilegal mining dan mengintegrasikan kebijakan untuk ketahanan energi nasional,” ungkap Irwandy. (Nrm/Ahm)