Pengamat: Tak Ada Diskon Harga Minyak dari Sonangol

Transparansi dalam proses kerjasama sedang dilakukan antara pemerintah dengan Sonangol perlu dilakukan.

oleh Oscar Ferri diperbarui 06 Des 2014, 17:16 WIB
Diterbitkan 06 Des 2014, 17:16 WIB
Ilustrasi Tambang Minyak (Liputan6.com/M.Iqbal)
Ilustrasi Tambang Minyak (Liputan6.com/M.Iqbal)

Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Ekonom-Politik Ichsanuddin Noorsy menilai jika ketentuan diskon harga minyak dari perusahaan migas Angola yakni Sonangol EP yang digembar-gemborkan Menteri BUMN, Rini Soemarno, Menteri ESDM, Sudirman Said dan Surya Paloh tidak pernah ada.

"Angola akan keberatan dengan posisi diskon US$ 15 per barel. Pasalnya, biaya pokok produksi minyak sendiri di atas US$ 90-an. Angola pasti tidak memberikan diskon US$ 15 karena itu besar sekali," ujar dia di Jakarta, Sabtu (6/12/2014).

Menurut dia, transparansi dalam proses kerjasama sedang dilakukan antara pemerintah dengan Sonangol perlu dilakukan.

"Permasalahan terbesar pemerintah adalah untuk terbuka (terkait kerjasama itu). Bagaimana sesungguhnya perjanjian pokok antara RI dengan Angola," ujarnya.

Pemerintah memang harus membuka MoU antara pemerintah RI dengan Angola. Apakah memang dalam perjanjian itu, ada pernyataan tentang diskon US$ 15 dari harga pasar.

"Sepanjang itu tidak diperjanjikan, maka status diskon itu memang akhirnya harus dinegosiasikan ulang atau dibicarakan ulang antara Sonangol dengan Pertamina," pungkas dia.

Sementara itu, Anggota tim Reformasi Tata Kelola Migas (RKTM), Fahmy Radhi membenarkan bahwa perusahaan Senangol EP untuk kerjasama dengan pemerintah terkait dengan impor minyak dibawa salah satu pengusaha.

Hal itu menyusul polemik yang terjadi terkait perbedaan pernyataan mengenai diskon harga minyak dari Sonangol yang dikeluarkan pemerintah.

"Kalau kemudian Surya Paloh itu punya kerjasama dengan Senangol itu suatu fakta yang tidak bisa dipungkiri. Kemudian sebagai pimpinan partai yang berkoalisi dengan Partai Jokowi, membawa Senangol," jelasnya.

Namun demikian, dia mengingatkan jika dalam kerjasama tersebut memang ada keuntungan yang diterima pemerintah, bila dibandingkan melalui Petral, maka itu tidak menjadi masalah.

"Akan tetapi kalau lebih mahal, kemudian dipaksakan harus dari Sonangol, nah ini namanya mafia migas," tandas dia. (Oscar/Nrm)



POPULER

Berita Terkini Selengkapnya