Perang Mata Uang Picu Harga Minyak Makin Ambruk

Analis di Again Capital John Kilduff harga minyak masih akan terus merosot hingga menyentuh harga US$ 30 per barel.

oleh Siska Amelie F Deil diperbarui 06 Feb 2015, 13:35 WIB
Diterbitkan 06 Feb 2015, 13:35 WIB
Harga Minyak
(foto:xinhua)

Liputan6.com, New York - Harga minyak tercatat terus naik beberapa hari ke belakang hingga menyentuh 4,5 persen menjadi US$ 57,57 per barel pada perdagangan hari ini. Meski begitu, analis di Again Capital John Kilduff harga minyak masih akan terus merosot hingga menyentuh harga US$ 30 per barel.

"Saya masih sangat yakin harga minyak akan merosot ke harga US$ 30-US$ 33 per barel, yang merupakan titik terendah dari krisis finansial pada 2008-2009," ujar Kilduff seperti dikutip dari CNBC, Jumat (6/2/2015).

Fluktuasi di pasar mata uang dan berbagai kebijakan yang diambil bank sentral juga telah memicu volatilitas di pasar minyak. Dolar Amerika Serikat (AS) yang terus menguat mendorong harga minyak semakin turun karena komoditas tersebut dibeli dan dijual dengan menggunakan mata uang raksasa tersebut.

"Pada titik ini, fluktuasi mata uang telah menjadi penggerak utama volatilitas global. Anda tak bisa membuat keputusan investasi tanpa benar-benar memahami ke mana dolar akan bergerak," ungkap David Woo, Head of Global Rates and Currencies Research di America Merrill Lynch.

Saat ini, volatilitas mata uang tengah berada di level tertingginya dala 20 tahun terakhir untuk periode non-krisis. Volatilitas tersebut dapat terus meningkat mengingat negara-negara di dunia kini tengah terlibat perang mata uang.

"Dengan negara-negara yang tengah menghadapi kesulitan fiskal, satu-satunya alat yang tersedia bagi bank-bank sentral untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi adalah mata uang yang lebih rendah," ujarnya.

Menurutnya, jika setiap negara melakukan permainan yang sama, maka pemerintah lain pasti akan melakukan hal yang sama. Jika tidak begitu, maka akan ada negara yang tertinggal.

"Kami menyebutnya perang mata uang. Ada yang menang dan kalah," kata Woo.

Namun saat ini, Amerika Serikat tampak tak punya banyak pilihan untuk menghentikan dolar dari penguatannya karena Bank Sentral Eropa dan Bank Sentral Jepang tengah secara intensif menumbuhkan ekonominya melalui kebijakan moneter baru. Namun pertanyaan paling penting untuk minyak, dan risiko terbesar di 2015 adalah prospek bahwa China akan mengambil langkah yang sama untuk melemahkan mata uangnya.

"Jika China memutuskan terlibat dalam permainan yang sama, itu akan menjadi bencana karena harga komoditas akan ambruk karena China mengkonsumsi 40 persen komoditas dunia," tandasnya.

Dan jika itu terjadi, beberapa negara akan memicu devaluasi mata uang yang lebih kompetitif di seluruh dunia. Yield sektor komoditas akan berkurang 1,25 persen, jika China melemahkan nilai tukar mata uangnya 10 persen saja. (Sis/Ndw)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya