Iuran Jaminan Pensiun Masih Dikaji Pemerintah

Wapres Jusuf Kalla mengatakam, pemerintah akan perhitungkan kemampuan pengusaha, pegawai dan buruh untuk bayar iuran jaminan pensiun.

oleh Silvanus Alvin diperbarui 08 Mei 2015, 20:30 WIB
Diterbitkan 08 Mei 2015, 20:30 WIB
Jusuf Kalla
Jusuf Kalla (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah masih mengkaji besaran iuran dana jaminan pensiun meski program itu dimulai pada Juli 2015. Besaran iuran dana jaminan pensiun tersebut belum ditentukan.

"Ya memang lagi dibicarakan (penetapan besaran iuran jaminan pensiun), karena ada pengusaha dan sebagian buruh juga keberatan," ujar Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Jumat (8/5/2015).   

JK menjelaskan, pemerintah akan memperhitungkan kemampuan pengusaha, karyawan, dan buruh dalam membayar iuran jaminan pensiun tersebut.  

"BPJS ketenagakerjaan semacam asuransi. Jadi di samping pemerintah memberikan juga dipungut dari iuran anggota, buruh dan pekerja. Perlu dipertimbangkan (kemampuannya)," tutur dia.

Kementerian Ketenagakerjaan sebelumnya menerapkan besaran iuran dalam program jaminan pensiun sebesar 8 persen, dengan rincian iuran bagi pengusaha 5 persen dan pekerja 3 persen. Hal itu sudah disepakati BPJS Ketenagakerjaan, Kementerian Hukum dan HAM, serta Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).

Namun Kementerian Keuangan belum sepakat. Mereka menginginkan besaran iuran 3 persen, dengan rincian 2 persen dari pengusaha dan 1 persen dari pekerja. Dengan catatan akan ada peningkatan persentase atau jumlah iuran dalam jangka waktu tertentu.

Sementara itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) mengusulkan iuran jaminan pensiun buruh atau pekerja sebesar 1,5 persen. Angka ini jauh lebih rendah dibanding usulan Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) yang sebesar 8 persen.

Ketua Umum APINDO, Hariyadi Sukamdani mengungkapkan, pengusaha mengusulkan iuran jaminan pensiun 1,5 persen kepada pemerintah, meski Kementerian Keuangan dan Kemenaker mempunyai versi berbeda masing-masing 3 persen dan 8 persen.

"Kondisinya memang dunia usaha berat, sehingga kalau dipaksakan jaminan pensiun 8 persen saat ini pasti akan bermasalah karena buat pengusaha tidak kuat," ujar Hariyadi.

Hariyadi mengatakan, perhitungan 1,5 persen sudah cukup sebagai jaminan pensiun pekerja. Sebesar 1,5 persen, kata Hariyadi tetap melibatkan peran pekerja dalam porsi pembayarannya bukan saja pengusaha.  (Silvanus A/Ahm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya