Buruh Tolak Pelaksanaan Jaminan Pensiun Diundur

Buruh meminta pemerintah tetap menjalankan program Jaminan Pensiun Wajib per 1 Juli 2015 sesuai dengan rencana awal.

oleh Nurmayanti diperbarui 09 Mei 2015, 17:24 WIB
Diterbitkan 09 Mei 2015, 17:24 WIB
Ribuan Buruh Salat Bareng Saat Aksi May Day
Ribuan buruh melaksanakan salat Jumat di kawasan Monas, Jakarta, Jum'at (1/5/2015). Lebih dari 100.000 buruh ikut dalam aksi May Day. (Liputan6.com/Andrian M Tunay)

Liputan6.com, Jakarta - Buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak keinginan pengusaha yang meminta program jaminan pensiun diundur pelaksanaannya.

Presiden KSPI Said Iqbal menegaskan pemerintah harus menjalankan program Jaminan Pensiun Wajib per 1 Juli 2015 sesuai dengan rencana awal.

"Bila pemerintah tidak menjalankan jaminan pensiun per 1 Juli 2015 maka Presiden RI telah melanggar konstitusi UU no 24 tahun 2011 tentang BPJS," ujar dia di Jakarta, Sabtu (9/5/2015).

Bahkan, dia mengaku siap menggugat pemerintah jika memang program tersebut tidak jadi berjalan sesuai keinginan buruh.

Buruh akan menggugat presiden dan para menteri terkait ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui gugatan Class Action (Citizen Law Suit).

Buruh juga akan menggugat pidana 8 tahun penjara bagi pengusaha yang tidak mau membayar dana pensiun untuk pekerjanya sesuai UU no 24/2011 tersebut.

Selain itu, Iqbal menambahkan, para buruh ikut menolak usulan besaran iuran pensiun pengusaha sebesar 3 persen. Besaran itu dinilai akan menyebabkan uang manfaat pensiun rendah.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Hariyadi Sukamdani mengusulkan iuran jaminan pensiun hanya sebesar 1,5 persen kepada pemerintah, meski Kementerian Keuangan dan Kementerian Tenaga Kerja mempunyai versi berbeda masing-masing 3 persen dan 8 persen.

"Kondisinya memang dunia usaha berat, sehingga kalau dipaksakan jaminan pensiun 8 persen saat ini pasti akan bermasalah karena buat pengusaha tidak kuat," ujar dia.

Perhitungan 1,5 persen dinilai sudah cukup sebagai jaminan pensiun pekerja. Alasannya, iuran sebesar 1,5 persen, tetap melibatkan peran pekerja dalam porsi pembayarannya bukan saja pengusaha.

Seiring perbaikan ekonomi, sambungnya, pengusaha akan menyesuaikan kembali iuran tersebut. Cara ini seperti yang berlaku di Amerika Serikat (AS).

"Jadi tidak ujuk-ujuk di depan 8 persen, karena ini masalah cashflow pengusaha. AS saja iuran pensiun sekarang 12 persen, tapi waktu memulainya pada 1920 sebesar 1,5 persen. Harus ada jangka waktunya," tandas dia.(Nrm/Igw)

 

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya