Liputan6.com, Jakarta - Pengusaha sekaligus importir ponsel membantah bila saat ini terjadi perang harga di antara negara-negara ASEAN, sehingga harga jual produk termasuk barang elektronik ponsel menjadi jauh lebih murah. Dampak dari perang harga, Indonesia makin doyan impor ponsel. Â
Ketua Asosiasi Importir Pedagang Ponsel, Alie Cendrawan menegaskan tidak ada perang harga antar negara-negara ASEAN, selain perlambatan ekonomi sejumlah negara maju dan berkembang.
"Sepanjang yang saya ketahui, tidak ada perang harga. Tapi yang terjadi sekarang, bisnis di dunia sedang lesu dan uang diperketat," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Minggu (17/5/2015).
Advertisement
Dengan kondisi ini, sambungnya, banyak pabrik dengan jumlah karyawan besar harus pandai mengatur biaya produksi dan operasional. Sebab bisnis perusahaan harus terus berjalan meski sedang dilanda situasi kurang menguntungkan.
"Supaya bisnis bisa jalan terus, tentu dengan menekan dan mengurangi ongkos produksi termasuk untuk para pengusaha ponsel. Dengan menekan ongkos produksi, otomatis harga jual turun karena memang lagi susah keuangan di semua bidang," jelas Alie.
Terpisah, Ketua Umum Asosiasi Ponsel Seluruh Indonesia (APSI) Hasan Aula justru mengaku tidak mengetahui tentang perang harga di antara negara-negara ASEAN. "Saya tidak dengar (perang harga). Setahu saya bisnis ponsel masih biasa-biasa saja, kompetisinya pun biasa dan standar," tutur dia.
Sebelumnya, Deputi Bidang Statistik, Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS), Sasmito Hadi Wibowo mengatakan, penguatan dolar Amerika Serikat (AS) yang diikuti penurunan harga minyak dunia justru mendorong harga jual sejumlah produk dari negara ASEAN ‎semakin murah. Akhirnya terjadi persaingan atau perang harga.
"‎Walaupun dolar naik, harga turun lebih tajam. Ada perang harga karena produksi perusahaan di negara-negara ASEAN sudah banyak, sehingga timbul persaingan. Mumpung harga murah, kita banyak beli (impor)," ucap dia.
Kata Sasmito, persaingan atau perang harga terjadi antar China atau Tiongkok, Korea Selatan, Singapura, Vietnam, dan Malaysia mengingat produksi barang di negara tersebut berlimpah.
"China menjual barang yang kadang harganya tidak masuk akal. Harga yang harusnya Rp 2 juta, dijual Rp 700 ribu. Mungkin manfaatnya serupa, tapi soal kualitas tidak tahu," ujar Sasmito.
Impor paling dominan yang dikirim ke Indonesia, sambung dia, berupa ponsel. Ponsel tercatat masuk dalam kategori barang mesin dan peralatan listrik. Dari catatannya, impor mesin dan peralatan listrik pada Januari-April 2015 mengalami kenaikan 7,31 persen menjadi US$ 2,3 miliar dari periode yang sama 2014 sebesar US$ 2,19 miliar.
"Sedangkan untuk April 2015, impornya turun menjadi US$ 497,8 juta dari realisasi US$ 500 juta di Maret lalu. Itu termasuk ponsel, televisi, karena ada perang harga sejak awal tahun lalu. Jadi misal ponsel yang tadinya dijual Rp 1 juta, jadi Rp 500 ribu artinya yang semula cuma bisa beli satu, akhirnya bisa beli dua," papar Sasmito. (Fik/Ahm)