Liputan6.com, Jakarta - Komisi XI DPR menyepakati usulan pemerintah untuk memberi suntikan modal sebesar Rp 1,54 triliun kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial/BPJS Kesehatan akibat terjadi defisit antara pendapatan iuran dengan pengeluaran (klaim). Anggaran tergerus karena membludaknya peserta BPJS yang sedang menderita sakit.
Ketua Komisi XI DPR, Fadel Muhammad saat membacakan kesimpulan Raker Penerimaan dan PMN 2016, menyetujui usulan perubahan cadangan pembiayaan BPJS Kesehatan senilai Rp 1,54 triliun menjadi pembiayaan pada APBN-P 2015.
"Komisi XI meminta pembahasan lebih lanjut melalui rapat dengan Menteri Keuangan, Menteri Kesehatan, dan BPJS Kesehatan. Kami juga meminta kepada BPJS Kesehatan memperbaikan sistem pengelolaan supaya tidak menimbulkan moral hazard," kata dia di Jakarta, seperti ditulis Jumat (16/10/2015).
Advertisement
Kesepakatan ini karena mempertimbangkan usulan Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro untuk mengubah cadangan pembiayaan Rp 1,54 triliun menjadi pembiayaan supaya pemerintah bisa memberikan uang tunai sebesar angka tersebut. Hal ini dilakukan demi menjaga kelangsungan pelayanan dari BPJS Kesehatan.
"Melihat perkembangan hari ini, terjadi gangguan arus likuiditas pada BPJS Kesehatan karena animo sangat tinggi terutama dari sektor mandiri, yakni pekerja dengan upah dan pekerja bukan penerima upah. Jadi dana ini bisa menjaga tingkat kesehatan dari dana jaminan kesehatan dan ketersediaan dana likuid untuk membayar klaim," papar dia.
Likuiditas BPJS Kesehatan, sambung Bambang, diharapkan membaik dari sisi aset neto melalui pembiayaan tersebut. Aset neto dari program jaminan kesehatan tahun ini yang awalnya minus Rp 5,82 triliun menjadi minus Rp 4,31 triliun dengan dana Rp 1,54 triliun dari pemerintah.
Dalam kesempatan sama, Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fahmi Idris, mengatakan, jumlah peserta BPJS Kesehatan mencapai nyaris 153 juta orang atau melonjak dari posisi sebelumnya 119 juta orang karena tingginya animo masyarakat menjadi peserta BPJS Kesehatan.
"Tapi cukup banyak peserta yang sedang sakit mendaftar. Inilah yang menggerus likuiditas sebenarnya dan kita tidak mungkin menolak mereka yang sakit dan mendaftarkan diri," kata Fahmi.
Lonjakan tersebut, kata dia, menyebabkan defisit antara pendapatan dan pengeluaran perusahaan. Fahmi menyebut, sampai hari ini, pendapatan dari iuran yang masuk sebesar Rp 39 triliun, sementara pengeluaran (klaim) menembus Rp 41 triliun.
Ia menjelaskan, paling banyak peserta BPJS Kesehatan adalah pekerja penerima bukan upah. Masyarakat kalangan ini, diakui Fahmi membutuhkan jaminan kesehatan di saat tak sanggup bila harus ikut bergabung di asuransi kesehatan swasta dengan iuran cukup mahal.
"Jumlah pekerja penerima bukan upah dari 500 ribu-600 ribu orang targetnya menjadi 10 juta orang. Ini juga penyebab utama missmatch. Karena dengan iuran premi Rp 19.900, Rp 25,500 per bulan bisa merasakan manfaatnya. Makanya penderita kanker, hemofili dan lainnya mendaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan," pungkas Fahmi. (Fik/Ahm)*