Yuk, Pahami Dana Bagi Hasil Industri Hulu Migas

Banyak yang belum tahu proses Bagi Hasil migas, ini dia tata kelolanya.

oleh Liputan6 pada 20 Okt 2015, 00:00 WIB
Diperbarui 13 Feb 2016, 17:19 WIB
Yuk, Pahami Dana Bagi Hasil Industri Hulu Migas
Banyak yang belum tahu proses Bagi Hasil migas, ini dia tata kelolanya.

Liputan6.com, Jakarta Bagi Hasil Minyak Bumi dan Gas Alam (Migas) untuk daerah penghasil kerap menjadi persoalan dan isu yang selalu diperdebatkan. Lalu, seperti apa sebenarnya tata kelola dana bagi hasil migas ini?

Kegiatan ekplorasi dan produksi migas merupakan kegiatan inti usaha hulu migas dan dalam menjalankan bisnis ini negara melalui SKK Migas melakukan kerjasama dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (Kontraktor KKS), seperti PT Pertamina EP, PT Chevron Pacific Indonesia, dan masih banyak lagi. Istilah Bagi Hasil inilah dikenal dalam proses ini.

Namun, bagi hasil di sini bukanlah distribusi penerimaan negara untuk daerah. Bagi Hasil migas dalam lingkup pelaksanaan Kontrak Bagi Hasil Hulu Migas (Production Sharing Kontrak) yaitu pembagian lifting migas (produksi migas yang terjual) antara pemerintah dan Kontraktor KKS sesuai dengan kesepakatan tertera di kontrak.

Pada fase ini, SKK Migas dan Kontraktor KKS berkonsentrasi pada upaya mengoptimalkan lifting pada masing-masing wilayah kerja. Tugas SKK Migas dan Kontraktor KKS selesai setelah lifting migas berhasil dikomersialisasikan dan uang yang dihasilkan dari penjualan migas disalurkan ke rekening pemerintah.
Hasil bisnis negara ini disetorkan langsung ke negara melalui rekening Menteri Keuangan. Jadi tidak ada hasil penjualan migas yang mampir ke rekening SKK
Migas.

Yang sering menjadi sorotan banyak pihak ialah bagi hasil pada tahapan selanjutnya, yaitu bagaimana pemerintah membagi-bagi dana yang diterima dari industri hulu migas kepada pemerintah daerah penghasil migas dan non penghasil migas.  

Beberapa instansi pemerintah juga ikut dilibatkan dalam proses ini.  Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bertugas membagi lifting migas per provinsi dan per kabupaten/kota. Kementerian ESDM akan menggunakan laporan lifting per Kontraktor KKS yang dilaporkan SKK Migas sebagai bahan pembanding dan alat kontrol ketika melakukan evaluasi lifting per daerah penghasil. Setelah melewati proses review dan evaluasi, Kementerian ESDM akan mengeluarkan Keputusan Menteri ESDM tentang alokasi lifting per daerah penghasil migas.

Kemudian, Kementerian Keuangan akan memverifikasi laporan lifting yang diterima dari SKK Migas setiap bulan untuk memastikan bahwa uang yang diterima di rekening Kementerian Keuangan di Bank Indonesia sama besarnya dengan yang dilaporkan SKK Migas. Bila laporan itu  sudah terverifikasi, maka Kementerian Keuangan akan melakukan perhitungan penerimaan negara bersih per Kontraktor KKS.

Laporan penerimaan negara bersih per Kontraktor KKS ini bersama dengan laporan lifting per daerah penghasil dari Kementerian ESDM kemudian diolah oleh Kementerian Keuangan  sehingga diperoleh Dana Bagi Hasil yang selanjutnya akan dialokasikan kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Penghasil, dan Pemerintah Daerah Non Penghasil Migas. Pengalokasian dana bagi hasil ini dituangkan dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan.

Dasar pemerintah membagi persentase dana Bagi Hasil migas adalah Undang-undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Regulasi ini mengatur bahwa penerimaan minyak bumi, setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lain, dibagi dengan imbangan 84,5 persen untuk pemerintah pusat dan 15,5 persen untuk daerah. Dari angka 15,5 persen ini, sebesar 0.5 persen dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar pada daerah bersangkutan.

Sisanya sebesar 15 persen dibagi dengan rincian: 3 persen untuk provinsi; 6 persen untuk kabupaten/kota penghasil; dan 6 persen untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Khusus untuk penerimaan gas bumi, pembagiannya adalah 69,5 persen untuk pemerintah pusat dan 30,5 persen untuk daerah. Lalu, sebesar 0,5 persen dari  hak daerah ini akan dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar pada daerah bersangkutan. Sisanya sebesar 30 persen dibagi dengan rincian 6 persen untuk provinsi; 12 persen untuk kabupaten/kota penghasil; dan 12 persen untuk kabupaten/kota lain.

Dari penjelasan  di atas dapat ditarik dua kesimpulan. Pertama, SKK Migas dan Kontraktor KKS tidak memiliki kewenangan  mengelola pembagian dana Bagi Hasil ke daerah. Kedua, setiap instansi pemerintah yang terlibat dalam proses ini bekerja berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.

Aspirasi daerah untuk meningkatkan hasil migas yang mereka terima tentu perlu dihargai. Namun, semua pihak tentu berharap, jangan sampai penyaluran aspirasi ini mengganggu kegiatan operasi hulu migas yang dapat mengancam penerimaan negara, dan pada akhirnya akan  mengancam penerimaan daerah bersangkutan dari dana Bagi Hasil migas.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Pertanyaan Sering Muncul Dalam Dana Bagi Hasil Hulu Migas

Satu pertanyaan yang kerap mengemuka saat mendiskusikan tentang dana Bagi Hasil hulu migas adalah mengapa dana ini tidak langsung bisa diterima daerah penghasil? Bagaimana penjelasannya? Karena kegiatan eksplorasi dilakukan di daerah penghasil, penerimaan dari dana Bagi Hasil minyak dan gas bumi (migas) selalu dinanti masyarakat daerah penghasil. Sebab, dana segar ini sangat berarti untuk mendanai pembangunan daerah. Namun, ada beberapa kekeliruan pemahaman masyarakat berkaitan dengan dana Bagi Hasil migas ini.

Pertama, beberapa daerah menuntut dana bagi hasil pada saat perusahaan migas yang menjadi  Kontraktor Kontrak Kerja Sama (Kontraktor KKS) masih melakukan eksplorasi. Ini keliru, karena pada fase eksplorasi, Kontraktor KKS masih sedang melakukan pencarian minyak. Mereka belum mendapatkan hasil, tapi justru masih mengeluarkan banyak dana untuk berbagai kegiatan, termasuk survei seismik dan pengeboran eksplorasi. Tak ada jaminan setiap kegiatan eksplorasi bisa menemukan cadangan migas yang layak dikembangkan.

Kedua, beberapa daerah mengeluh karena belum menerima bagi hasil, padahal Kontraktor KKS  sudah mulai berproduksi. Memang penjualan migas sudah dimulai sejak awal produksi. Namun, pada tahap awal ini, penerimaan migas umumnya masih lebih kecil dari faktor pengurang. Salah satunya, pengembalian biaya operasional mulai fase eksplorasi hingga produksi awal. Belum lagi pajak-pajak seperti pajak pertambahan nilai (PPN), pajak bumi dan bangunan (PBB) migas, dan pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD). Karena penerimaan dari penjualan migas di awal-awal produksi umumnya tidak terlalu besar, maka dana Bagi Hasil migas menjadi nol, sehingga Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah belum menerima bagian dari dana bagi hasil migas pada beberapa tahun awal.

Pertanyaan masyarakat berikutnya; mengapa penerimaan yang mereka terima dari bagi hasil migas berkurang? Ada beberapa hal yang menyebabkan penerimaan menurun. Antara lain, penurunan harga minyak bumi, penurunan lifting (produksi migas yang terjual) karena kendala operasi atau memang lapangannya sudah tua, kenaikan faktor pengurang (misalnya PBB migas dan PPN yang meningkat), dan kelebihan penyaluran Dana Bagi Hasil pada triwulan sebelumnya sehingga penyaluran pada triwulan berikutnya dikurangi.

Semua penyebab penurunan dana Bagi Hasil itu saling terkait. Misalnya, kenaikan harga minyak bumi kadang tidak selalu diikuti dengan kenaikan Dana Bagi Hasil yang diterima Pemerintah Daerah. Kenaikan harga minyak memang akan meningkatkan penerimaan kotor (gross revenue) pemerintah dari penjualan migas.

Namun, penerimaan negara bersih (net revenue), yaitu penerimaan yang benar-benar menjadi hak negara adalah penerimaan kotor setelah dikurangi kewajiban-kewajiban kontraktual. Setelah dikurangi faktor-faktor pengurang inilah, baru penerimaan negara migas  menjadi dana yang siap dibagikan dan disebut dengan Dana Bagi Hasil. Adanya faktor pengurang ini, kenaikan harga minyak bumi tidak selalu pararel atau proporsional terhadap kenaikan Dana Bagi Hasil yang diterima Pemerintah Daerah.

Perlu juga diingat bahwa aliran Dana Bagi Hasil akan mengikuti sifat alami dari industri hulu migas, termasuk situasi makro industri ini secara internasional, dan juga karakteristik Kontrak Bagi Hasil yang diadopsi pemerintah Indonesia. Satu hal yang pasti yang bisa dilakukan oleh pemangku kepentingan di daerah untuk mempercepat penerimaan Dana Bagi Hasil adalah dengan mendukung kegiatan industri hulu migas sejak eksplorasi sampai produksi. Dukungan itu dapat berupa kelancaran perizinan dan juga dukungan atas kelancaran kegiatan operasi saat sudah berjalan. Semakin lancar kegiatan operasi akan semakin mempercepat penerimaan negara dari bisnis ini diterima, sehingga Dana Bagi Hasil akan segera bisa direalisasikan.

Hal lain yang perlu diingat adalah migas merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan. Artinya, Dana Bagi Hasil migas yang diterima daerah saat ini suatu saat juga akan menurun bahkan habis saat cadangan migasnya habis. Adalah tanggung jawab semua pihak untuk memastikan bahwa Dana Bagi Hasil yang diterima saat ini juga dialokasikan untuk membangun ketahanan ekonomi daerah dari sektor non migas sehingga kemakmuran daerah tetap bisa dipertahankan meski cadangan migas habis. Hanya dengan cara inilah Dana Bagi Hasil migas akan benar-benar menjadi berkah bagi masyarakat daerah.

(Adv)

 

 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya