Liputan6.com, Jakarta - Produk-produk turunan kelapa sawit seperti minyak sawit atau crude palm oil (CPO)Â asal Indonesia masih kerap mendapatkan kampanye hitam (black campaign) dari negara-negara Uni Eropa. Produk CPO Indonesia dianggap sebagai produk yang tidak ramah lingkungan.
Namun Menteri Perdagangan Thomas Lembong meminta industri kelapa sawit lokal agar tidak terlalu menanggapi kampanye-kampanye hitam tersebut. Dia meminta industri tidak hanya sibuk dalam perdebatan mengenai hal tersebut namun terus berinovasi untuk memasarkan produk CPO.
"Banyak yang kritik sawit, tapi kita tidak perlu masuk ke argumentasi pro dan kontra dengan mereka. Kita harus tekankan aspek positif dari sawit," ujarnya dalam Forum Ekspor 'Palm Oil as an Indonesia Export Prime Mover' di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (20/10/2015).
Menurut Thomas, produk CPO sebenarnya jauh lebih ramah dibandingkan dengan produk minyak nabati lain. Hal ini seharusnya yang ditonjolkan untuk meredam kampanye negatif tersebut. "Dalam kondisi normal, CPO itu lebih ramah lingkungan dibanding minyak kedelai dan minyak nabati lain," kata dia.
Selain itu, industri minyak sawit juga terbukti mampu mengangkat perekonomian rakyat di daerah-daerah perkebunan sawit selama bertahun-tahun. Oleh sebab itu, industri CPO sudah seharusnya menjadi salah satu industri prioritas untuk dikembangkan.
"Industri ini mengangkat perekonomian puluhan juta rakyat kita. Ini membantu mengangkat kemiskinan. Memang dengan asap kabut kita akan disorot tapi mari kita tabah. Kita tetap ambil pandangan jangka panjang, karena kesiapan itu yang akan membantu," tandasnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli mengusulkan agar Indonesia dan Malaysia membentuk organisasi sejenis Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) yang merupakan perkumpulan negara-negara penghasil minyak bumi. Namun organisasi yang ingin dibentuk ini adalah negara-negara penghasil CPO. Hal tersebut dilakukan untuk mendorong pertumbuhanya produk olahan CPO.
Rizal mengusulkan hal tersebut saat bertemu dengan pejabat di Malaysia guna membahas salah satu komoditas andalan Indonesia dan Malaysia yaitu kelapa sawit atau crude palm oil (CPO).
"Minggu lalu saya ketemu dengan Malaysia. Konsepnya juga sama. Kita ekspor CPO dengan nilai tambah yang kecil. Kita usulkan bikin organisasi sejenis OPEC, atau dewan negara-negara penghasil CPO," ujar Rizal.
Dia menjelaskan, Indonesia dan Malaysia cocok menjadi negara pelopor pendirian organisasi ini karena kedua negara merupakan penghasil CPO terbesar di dunia. Sebagian besar CPO dunia dihasilkan oleh kedua negara serumpun tersebut. "Karena Indonesia dan Malaysia penghasil 80 persen CPO dunia," lanjut dia.
Rizal menyatakan, sebagai negara penghasil CPOÂ terbesar, Indonesia dan Malaysia bisa menjadi penentu harga CPO dunia. Namun selama ini harga CPO ditentukan oleh pasar. Oleh sebab itu, dia beranggapan organisasi seperti OPEC ini perlu dibentuk. (Dny/Gdn)
Mendag Minta Industri CPO Abaikan Kampanye Hitam
Produk CPO sebenarnya jauh lebih ramah dibandingkan dengan produk minyak nabati lain.
Diperbarui 20 Okt 2015, 12:52 WIBDiterbitkan 20 Okt 2015, 12:52 WIB
Advertisement
Live Streaming
Powered by
Video Pilihan Hari Ini
EnamPlus
powered by
POPULER
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Berita Terbaru
11 Ciri Asam Lambung Naik Saat Puasa, Cara Mencegah, Mengatasi, dan Bahayanya
Cara Download Lagu di Google dengan Mudah dan Cepat
Niat Puasa Arafah Idul Adha 2025, Yuk Lakukan untuk Hapus Dosa Dua Tahun
Lanny/Fadia Tidak Pasang Target Tinggi di Badminton Asia Championships 2025
Akses Jalan Menuju Kantor Kelurahan Jatihandap Bandung Longsor, Tak Ada Korban Jiwa
Kurs Dolar AS Hari Ini 8 April 2025: 1 USD Dekati Rp 17.000
Kakrolantas Polri: 74 persen Kendaraan Dari Luar Jakarta Sudah Masuk
3 Oknum TNI AL Penembak Bos Rental Mobil Ajukan Banding
Kemlu RI dan KJRI Dubai Soroti Kasus TPPO terhadap PMI Perempuan di Dubai
VIDEO: Lucky Hakim Ngaku Salah, Siap Disanksi!
Cara DM di Instagram, Ketahui Metode Kirim Pesan Langsung
2 Raksasa Inggris Intai Permata Barcelona di Tengah Badai Finansial