Industri Meradang Cukai Tembakau Kembali Diusulkan Naik

Kenaikan cukai dan penghilangan pedagang eceran dinilai akan mematikan para pedagang kecil di berbagai daerah.

oleh Nurmayanti diperbarui 01 Feb 2016, 12:52 WIB
Diterbitkan 01 Feb 2016, 12:52 WIB
20160119-Buruh-Tembakau-AFP
Ratusan buruh Indonesia bekerja di pabrik tembakau di pabrik rokok di Jember (13/2/2012). (AFP / ARIMAC WILANDER)

Liputan6.com, Jakarta - Gabungan Perserikatan Rokok Indonesia (Gappri) memprotes permintaan kenaikan cukai kembali untuk membuat harga rokok menjadi lebih mahal. Serta adanya desakan agar pemerintah melarang keberadaan penjual rokok eceran.

Komisi Nasional Pengendalian Tembakau sebelumnya mengusulkan kenaikan cukai rokok demi mengerek harga rokok dan membuat perokok usia aktif berkurang.

Kenaikan cukai dan penghilangan pedagang eceran dinilai akan mematikan para pedagang kecil di berbagai daerah yang masih bergantung pada industri hasil tembakau.

Ketua Umum Gappri Ismanu Sumiran menegaskan,  berbagai kampanye negatif terhadap tembakau terutama kretek memiliki tujuan agar Indonesia tidak mandiri secara ekonomi dan politik.

Dia menilai seharusnya, kelompok anti tembakau juga melihat survei seperti Ernest and Young teranyar yang menyebut harga rokok di Indonesia juga sudah tinggi dengan kontribusi cukai sangat besar.

"Survey Ernest Young menyatakan sudah clear bahwa harga rokok di Indonesia sudah cukup tinggi dengan kontribusi cukai sangat besar," tegas dia di Jakarta, Senin (1/2/2016).

Survei digunakan dengan meracik data dari AC Nielsen, Euromonitor, juga laporan keuangan perusahaan terbuka.

Hasilnya, berdasarkan, total pajak rokok di Indonesia terhadap harga jual sudah mencapai 53,4 persen. Sementara Malaysia mencapai 46 persen, China 44,4 persen dan Vietnam 41,6 persen. Paling tinggi di Thailand 73,1 persen.

Dia mengaku heran jika survei seperti itu selalu diabaikan. Padahal, jika dicermati saat ini mulai terjadi anti tessa atas kampanye anti tembakau. Terlihat, mulai ada Pemda yang membuka peluanng iklan rokok.

Menurut dia, ketika Indonesia bersedia mengaksesi FCTC, maka pemerintah akan langsung terikat kewajiban yakni tidak boleh membuat peraturan tembakau sendiri.

Dengan demikian hukum negara tidak diakui. Negara wajib membayar iuran ke Otoritas FCTC dan dikhawatirkan hanya diisi kalangan LSM.

Tak hanya itu saja, dengan aksesi FCTC akan membuka akses ke IHT dari perkebunan hingga pabrik. "Klausul pasal dan ayat aturannya terus semakin bertambah mematikan," tegas Ismanu.

Ismanu mengingatkan, mereka yang anti tembakau seharusnya tidak berpikir dan bertindak memaksakan diri seperti meminta agar para penjual rokok eceran dihilangkan. Pasalnya, Indonesia memiliki budaya yang beraneka ragam.

Menurut Ismanu, budaya IHT di Indonesia memiliki banyak tingkatan. Jika pabrik besar naik harga, yang menengah siap mengisi dan yang kecil dibawahnya mengisi diatasnya. Jadi, cara menaikan cukai hanya cocok di luar negeri yang tidak punya kretek.(Nrm/Ahm)


POPULER

Berita Terkini Selengkapnya