Pengusaha Minta Revisi Aturan Ekspor Industri Hasil Hutan

Aturan Nomor 89 Tahun 2015 tentang Ekspor Industri Hasil Kehutanan membuat ekspor hasil hutan RI ke Eropa jadi terhambat.

oleh Septian Deny diperbarui 15 Feb 2016, 11:31 WIB
Diterbitkan 15 Feb 2016, 11:31 WIB
20150915-Bongkar Muat di JICT-Jakarta
Suasana bongkar muat di Jakarta International Contener Terminal (JICT),Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (15/9/2015). Nilai ekspor Indonesia Agustus 2015 mencapai US$12,70 M atau meningkat 10,79 persen dibanding ekspor Juli 2015. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Pengusaha meminta Kementerian Perdagangan merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 89 Tahun 2015 tentang Ekspor Industri Hasil Kehutanan. Aturan ini dinilai bertentangan dengan ratifikasi yang sudah ditandatangani dengan Uni Eropa. Dampaknya produk ekspor hasil hutan RI ke Eropa menjadi terhambat.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Liana Bratasida mengatakan salah satu isi dalam Permendag tersebut yaitu menghapuskan kebijakan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) bagi produk furnitur.

Ketentuan ini bertentangan dengan perjanjian Forest Law Enforcement Governance and Trade Voluntary Partnership Agreement (FLEGT VPA) yang sudah ditandatangani Indonesia dengan Uni Eropa.

"Dampaknya kita ekspor ke Eropa harus diperiksa dan kena biaya US$ 2.000-US$ 2.500 per invoice. Kita jadi rugi waktu dan biaya," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (15/2/2016).

Padahal, lanjut dia, jika semua produk hasil kehutanan Indonesia tetap wajib SVLK, maka produk hasil kayu ke Eropa akan masuk dengan mudah.

Dia khawatir, perubahan aturan wajib SVLK untuk industri furnitur akan berdampak pada tertundanya pemberlakukan FLEGT VPA yang akan berlaku pada April mendatang.

Liana khawatir jika Permendag Nomor 89 ini tetap dipertahankan, kredibilitas SVLK akan menurun dan banyak perusahaan yang enggan mengurus SVLK. Dampaknya, kepercayaan pasar dunia terhadap produk hasil kehutanan Indonesia akan berkurang.

"Bila tetap tidak direvisi, dikhawatirkan ada seruan boikot terhadap produk hasil hutan kita di Eropa. Padahal dengan bisa masuk pasar Eropa, masuk pasar lainnya lebih mudah," jelas dia.

Karena itu, Liana meminta, pemerintah tetap mempertahankan wajib SVLK untuk semua produk hasil hutan untuk menciptakan citra positif pengelolaan hutan Indonesia. Apalagi, SVLK merupakan komitmen dari pemangku kepentingan mulai dari pemerintah, LSM, dan pelaku usaha.

Hal ini bertujuan untuk membenahi tata kelola kehutanan, memberantas illegal logging dan meningkatkan daya saing produk serta meningkatkan penerimaan produk Indonesia di pasar luar negeri.

Sementara itu terkait dengan keluhan dana yang dikeluhkan oleh Industri Kecil dan Menengah (IKM) untuk mendapatkan SVLK, Liana mengatakan, pemerintah sebenarnya bisa membantu. Dia menilai, asosiasi sudah mengirimkan surat kepada Dewan Pertimbangan Presiden terkait keluhan pengusaha hasil hutan ini.

Saat ini dari 64 anggotanya, 27 di antaranya  sudah mempunyai SVLK. "Kenapa tidak semuanya? karena tidak semua anggota APKI mengekspor produknya. Kalau yang ekspor pasti mengurus SVLK," ujar dia. (Dny/Ahm)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya