6 Perusahaan Terancam Kena Denda KPPU Rp 750 Miliar

Denda ini terkait dugaan kartel pada industri sawit.

oleh Nurmayanti diperbarui 02 Mei 2016, 18:52 WIB
Diterbitkan 02 Mei 2016, 18:52 WIB
KPPU
(Foto: Antara)

Liputan6.com, Jakarta Enam perusahaan sawit yang tergabung dalam Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP) terancam kena denda Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)‎, dengan total nilai mencapai Rp 750 miliar. Denda ini terkait dugaan kartel.

Denda ini berlaku bagi masing-masing perusahaan sebesar Rp 125 miliar, yang terdiri atas denda administratif sebesar Rp 25 miliar dan sanksi denda pidana Rp 100 miliar.

"Kami masih melakukan penyelidikan kasus ini. Apabila terbukti, maka mereka masing-masing akan kena denda Rp 125 miliar yang terdiri atas denda administrasi maksimum Rp 25 miliar dan denda pidana Rp 100 miliar," ujar Ketua KPPU Syarkawi Rauf di Jakarta, Senin (2/5/2016).

Menurut dia, sepekan yang lalu, KPPU telah melayangkan surat saran kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan kementerian terkait yang terdiri atas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Kementerian Pertanian (Kementan), dan Kementerian Koordinator Perekonomian.

Surat tersebut intinya memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk membubarkan implementasi IPOP di Indonesia. Sebab, IPOP menjadi sarana kartel bagi keenam perusahaan yang tergabung di dalamnya.


IPOP, lanjut Syarkawi, ‎merupakan kesepakatan pelaku usaha telah berlaku efektif dan berdampak negatif terhadap persaingan usaha sehingga diduga melanggar UU No 5 Tahun 1999.

Menurut Syarkawi, jika IPOP akan dijadikan standar perkebunan kelapa sawit di Indonesia, maka pemerintah harus membuat aturannya. "Jangan swasta yang membuat aturan, tapi kan pemerintah sudah punya ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil). Jadi saya pikir tidak perlu ada IPOP," katanya.

Diketahui, dalam industri kelapa sawit Indonesia, Pemerintah sudah membuat ISPO sebagai kebijakan sertifikasi yang harus dipenuhi setiap perusahaan atau perkebunan sawit yang menjadi standar dalam melaksanakan praktik perkebunan sawit yang berkelanjutan.

Terdapat perbedaan yang signifikan antara kesepakatan IPOP dengan kebijakan Pemerintah (ISPO) adalah penetapan standar kriteria lingkungan yang baik untuk perkebunan sawit. ISPO menggunakan standar kriteria High Conservation Value Forest (HCVF), sementara para anggota IPOP sepakat untuk menambahkan kriteria High Carbon Stock (HCS).

"Hal ini membuka potensi  terjadinya hambatan masuk pasar bagi mitra anggota IPOP yang telah sesuai dengan kebijakan Pemerintah, namun tidak memenuhi standar kriteria HCS," kata Syarkawi.

Pelaku usaha yang tergabung dalam IPOP menguasai pangsa pasar CPO yang cukup besar, sehingga para anggota IPOP memiliki kekuatan pasar yang cukup besar.

Hasil analisis KPPU memperlihatkan bahwa kesepakatan IPOP merupakan kesepakatan antar pelaku usaha tertentu, yang memuat aturan yang mengikat pelaku usaha untuk mengimplementasikannya.

Implementasi IPOP, akan membawa dampak terhadap pelaku usaha lain di luar IPOP berupa hambatan masuk (pasokan),  untuk memasok ke perusahaan yang tergabung dalam IPOP.

Kondisi tersebut dialami pelaku usaha yang telah patuh melaksanakan regulasi Pemerintah (ISPO), yang merupakan regulasi industri sawit Indonesia.

Dalam hal ini terdapat potensi bahwa kesepakatan IPOP memiliki posisi lebih tinggi kedudukannya dibanding regulasi pemerintah. Padahal IPOP hanya merupakan kesepakatan pelaku usaha.

Mengingat nilai-nilai dalam IPOP hanya merupakan kesepakatan pelaku usaha, maka IPOP berpotensi  menjadi sarana kartel untuk menjadi hambatan masuk (entry barrier) bagi pelaku usaha mitra anggota IPOP.

Atas dasar analisis tersebut KPPU menyatakan bahwa kesepakatan IPOP berpotensi menjadi sarana kartel yang akan menimbulkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Oleh karena itu, KPPU menyatakan kesepakatan IPOP tidak dapat diimplementasikan.

Dirjen Perkebunan Kementan Gamal Nasir mengapresiasi pandangan KPPU tersebut. Bahkan selama ini, kata Gamal, posisi Kementan menolak keberadaan IPOP di Indonesia.

Namun demikian, Kementan dalam kasus ini akan mengikuti keputusan yang akan ditempuh Kementerian LHK. "Karena dalam kasus ini ‎terkait dengan lingkungan, maka lead-nya ada di Kementerian LHK. Sebagai sama-sama pemerintah, kami akan ikut apa yang menjadi keputusan Kementerian LHK," ujar Gamal.(Nrm/Ahm)

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya