RI Perlu Waspadai Negara Pesaing di Sektor Migas

Ketua Badan Pengarah Fabby Tumiwa menilai perusahaan migas asing mulai enggan ekspansi di Indonesia.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 30 Mei 2016, 09:50 WIB
Diterbitkan 30 Mei 2016, 09:50 WIB
20160308-Ilustrasi-Tambang-iStockphoto
Ilustrasi Tambang (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Investasi sektor minyak dan gas/migas di Indonesia dinilai mulai kocar kacir akibat ketidakpastian aturan, termasuk terbengkalainya pembahasan Rancangan Undang-undang atas Perubahan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas/RUU Migas.

Kini, perusahaan migas asing mulai melirik negara lain dalam daftar tujuan penanaman modalnya di sektor hulu migas.

Ketua Badan Pengarah Publish What You Pay Indonesia (PWYP), Fabby Tumiwa mengungkapkan, ‎perusahaan migas asing mulai enggan berekspansi maupun menanamkan modalnya di Indonesia karena risiko terlalu dan ketidakpastian yang besar.  Parahnya lagi, investor asing perlahan menjual asetnya atau blok migas di Indonesia.

"Sebenarnya asing tidak berminat investasi ‎di hulu migas. Kita jangan pede, yang produksi dan punya potensi minyak bukan cuma Indonesia. Dalam beberapa waktu terakhir, perusahaan asing menjual asetnya di Tanah Air, karena Indonesia sudah tidak menarik lagi buat investasi karena risiko terlalu tinggi dana ketidakpastian besar," jelas dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Senin (30/5/2016).

Fabby mengatakan, Indonesia sangat membutuhkan investasi. Namun pada faktanya, sambung dia, lelang wilayah kerja pertambangan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kurang diminati perusahaan migas asing. Hal ini, katanya, mengindikasikan investasi migas di Indonesia tidak menarik lagi.

"Investor atau perusahaan migas asing tidak melihat adanya peluang mendapatkan perpanjangan blok migas misalnya. Padahal kita butuh investasi dari asing yang bisa diatur dalam produk legislasi. Tapi ketika pembahasan produk legislasi tidak beres-beres, mending jual asetnya saja, biar pemilik blok migas baru yang menanggung risiko selanjutnya," tutur dia.

Kondisi tersebut tentu membuat kegamangan bagi investor asing di Indonesia, sementara perusahaan migas domestik diragukan dapat mengelola blok migas dengan kemampuan terbatas. Akibatnya, Fabby bilang, perusahaan tersebut memilih lokasi atau negara lain untuk berinvestasi di sektor hulu migas.

Indonesia, Ia mengakui, memiliki negara pesaing investasi migas. Negara-negara ini menawarkan risiko eksplorasi sumur migas yang lebih rendah. Salah satu risikonya mengenai produk hukum yang jelas dan dapat menjamin keberlangsungan bisnis mereka di masa depan.

"Saingan Indonesia di industri migas banyak, seperti Vietnam, Filipina, Myanmar yang mulai membuka diri, serta negara di Asia Tengah dan Afrika. Mereka semua butuh investasi. Dan risiko politiknya lebih rendah dibanding di sini, ditunjukkan dengan produk legislasi maupun penerapannya di lapangan. Kalau kita turunan UU Migas saja banyak dikecam," papar Fabby.

Dirinya menuturkan, prediksi kenaikan harga minyak dunia sekitar US$ 60 hingga 2020 tidak akan serta merta meningkatkan investasi di hulu migas dalam waktu cepat. Ada jeda waktu 2-3 tahun untuk melihat dampaknya.

"Harga minyak dunia bukan satu-satunya faktor daya tarik investasi. Jadi kita harus segera membahas dan mengesahkan revisi UU Migas‎ dengan isu-isu penting yang dimasukkan ke dalam payung hukumnya, misal pemberian insentif atau bagi hasil eksplorasi sumur migas lebih besar kepada investor," ujar Fabby.(Fik/Ahm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya