Kembangkan Blok Natuna, Pemerintah Wajib Beri Insentif

Insentif yang bisa diberikan berupa keringanan pajak atau tax holiday, pembebasan bea masuk‎, bagi hasil yang lebih besar buat investor.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 25 Jul 2016, 16:00 WIB
Diterbitkan 25 Jul 2016, 16:00 WIB
20160623- Jokowi Gelar Rapat di Kapal Perang KRI Imam Bonjol 383-Kepri- Setpres
(Ki-ka) Menko Polhukam Luhut Panjaitan, Presiden Jokowi, Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, Setkab Pramono Anung dan Menteri Kelautan dan Perikanan saat berada di kapal perang KRI Imam Bonjol 383 di perairan Natuna, Kamis (23/6). (Foto: Setpres)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah harus menyiapkan insentif yang menarik bagi investor jika ingin mengembangkan kawasan minyak dan gas bumi (migas) di Natuna. Alasannya, insentif bisa memberikan nilai tambah di saat kondisi harga minyak dunia saat ini sedang mengalami penurunan. 

Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, ketika harga minyak belum mengalami penurunan seperti saat ini, pemerintah sempat menawarkan blok migas tersebut‎. Namun, tidak ada investor yang berminat karena insetif yang ditawarkan belum jelas. Padahal untuk mengembangkan blok tersebut membutuhkan nilai investasi di kisaran US$ 25 miliar.

"Dalam kondisi harga normal saja pemerintah bersedia memberikan insentif pajak, bea masuk. Sekarang harus ada insentif. Ini ditunggu-tunggu belum keluar dari Kementerian Keuangan," kata Marwan, saat berbincang dengan Liputan6.com, di Jakarta,‎ Senin (25/7/2016).

Marwan menyebutkan, insentif yang bisa diberikan oleh pemerintah berupa keringanan pajak atau tax holiday, pembebasan bea masuk‎, pembagian hasil yang lebih besar untuk investor. Selain insentif, pemerintah juga harus menjamin penyerapan gas yang diproduksi dari Natuna. Pasalnya, harga gas di luar negeri masih jauh lebih murah.

"Lalu harus ada jaminan. Jaminan untuk penyerapan dalam negeri harus jelas, dari luar negeri saingan berat dari AS, Qatar karena harganya lebih murah," ujar Marwan.

Pemerintah tidak bisa terburu-buru mengembangkan Blok Natuna. Seharusnya menunggu kondisi harga minyak ‎dunia kembali membaik, untuk menjaga kedaulatan pemerintah bisa mengirim patroli angkatan bersenjata di wilayah tersebut.

"Kita kirim saja patroli di sana, Natuna Timur. Di darat kita tempatkan tentara di sana, sambil menyiapkan tadi insentif yang ditawarkan. Tidak bisa terburu-buru mengembangkan migas di sana, waktu harga normal dulu," tutup Marwan.

Sebelumnya pada 18 Juli 2016, untuk menjaga kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Presiden Jokowi memastikan akan mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah Natuna, baik di daratan atau di perairannya.

Tenaga Ahli Menko Maritim Haposan Napitupulu membeberkan salah satu potensi di perairan Natuna adalah sumber gas alam. Bahkan cadangan gas yang berada di perairan natuna timur tersebut salah satu yang terbesar di dunia.

"Di sana itu ada cadangan gas 222 TCF, namanya Blok D Alpha. Ini menjadi salah satu yang terbesar di dunia, pastinya, yang terbesar di Asia Tenggara," kata Haposan saat berbincang dengan wartawan, Senin (18/7/2016).

Menurut dia, melimpahnya cadangan gas tersebut sayangnya tidak diimbangi dengan kegiatan eksplorasi. Kurang berminatnya perusahaan menggali blok migas tersebut dkarenakan kandungan CO2 nya yang sangat tinggi, mencapai 73 persen.

Haposan mengungkapkan, sebenarnya PT Pertamina (Persero) pernah mengajukan kajian fiskal mengenai potensi blok tersebut. Hanya saja karena harga minyak yang saat ini terjun bebas, menjadikan nilai ekonomis blok D Alpha ‎sangat minim.

"Di sini harusnya pemerintah dan Pertamina duduk bersama, insentif-insentif apa yang bisa diberikan sehingga bisa ekonomis lagi," tegas dia.

Dengan pengembangan wilayah perairan Natuna itu, menurut Haposan, sebagai wujud bagi negara lain, termasuk Tiongkok bahwa wilayah itu milik Indonesia dan tidak bisa diganggu gugat.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya