Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan melaporkan total utang pemerintah pusat sampai dengan posisi Juni 2016 menembus Rp 3.362,74 triliun. Jumlah ini membengkak dari posisi utang bulan sebelumnya yang sebesar Rp 3.323,36 triliun.
Dari data DJPPR yang dikutip Liputan6.com, Jakarta, Rabu (3/8/2016), realisasi utang Rp 3.362,74 triliun naik Rp 39,38 triliun dari posisi utang hingga periode Mei yang sebesar Rp 3.323,36 triliun.
Dalam denominasi dolar AS, total utang pemerintah pusat ini sebesar US$ 255,14 miliar atau naik tipis dari realisasi sebelumnya US$ 252,15 miliar.
Baca Juga
Advertisement
Dirinci lebih dalam, utang pemerintah pusat itu berasal dari pinjaman sebesar Rp 739,99 triliun atau US$ 56,15 miliar hingga Juni 2016 dan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp 2.622,75 triliun atau setara US$ 198,99 miliar.
Pencapaian nilai pinjaman tersebut turun Rp 20,07 triliun dibanding realisasi Mei 2016 yang sebesar Rp 760,06 triliun. Sementara nilai SBN pada periode tersebut justru meningkat Rp 59,46 triliun dari penerbitan SBN hingga Mei lalu sebesar Rp 2.563,29 triliun.
Nilai utang hingga Juni yang tercatat Rp 3.362,74 triliun setara dengan rasio 27,7 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang mencapai Rp 12.627 triliun.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. Robert Pakpahan sebelumnya mengimbau masyarakat untuk melihat utang dari rasio utang terhadap PDB bukan dari segi nominal. Lantaran bagi beberapa negara memandang rasio utang luar negeri pemerintah Indonesia masih relatif rendah.
Dia menegaskan, utang tersebut digunakan untuk kegiatan produktif, seperti membangun infrastruktur proyek jalan, jembatan, dan lainnya. Sementara untuk belanja pegawai dipenuhi dari penerimaan pajak bukan dari utang.
"Kita berupaya mengurangi utang. Opsinya mengurangi pengeluaran atau menambah penerimaan pajak. Maka dari itu, reformasi di pajak sangat penting," ujar Robert. (Fik/Ndw)