Liputan6.com, Jakarta - DPR RI menilai masalah Google yang menolak untuk diperiksa terkait dengan kewajiban pajaknya harus dicermati dengan hati-hati. Jika Google masih menolak untuk menaati kewajibannya membayar pajak, maka pemerintah harus mencari cara lain, yaitu dengan membangun payment gateway untuk transaksi online.
Anggota Komisi XI Donny Imam Priambodo ‎mengatakan, jika Google mempunyai entitas resmi di Indonesia, maka sudah menjadi kewajiban untuk membayar pajak di Tanah Air.‎ Google juga harus diperlakukan sama dengan perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) atau Penanaman Modal Asing (PMA) lainnya.
Namun menurut Donny, yang menjadi permasalahannya, selama ini Google hanya mendirikan kantor perwakilan di Indonesia. "Kami sudah pernah meminta 1,5 tahun lalu, saat rapat dengar pendapat dengan Dirjen Pajak agar berkoordinasi dengan Menkominfo, sehingga semua transaksi online perusahaan global di Indonesia menggunakan gateway Indonesia untuk bertransaksi," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (16/9/2016).
Advertisement
Baca Juga
Kalau sistem payment gateway ini tidak segera dibangun, lanjut Donny, maka Google akan terus menghindar dari kewajibannya membayar pajak. Pasalnya pihak Google akan berpendapat transaksi yang selama ini dilakukan berada luar negeri bukan di dalam negeri lantaran bertransaksi dengan menggunakan gateway luar negeri.
"Untuk itu infrastruktur yang berkaitan dengan hal itu harus dibangun," lanjut dia.
Donny juga menyampaikan, saat ini banyak sekali toko online atau jasa media sosial yang transaksinya tidak melalui gateway Indonesia, karena memang aturan dan sistemnya belum memadai. Jika semua transaksi asal Indonesia menggunakan gateway dalam negeri, tentunya Direktorat Jenderal Pajak tidak perlu repot untuk mengutip pajak meskipun mereka hanya punya perusahaan perwakilan di Indonesia.
"Kami pikir potensi pajak dari transaksi online ini akan cukup besar jika dikelola dengan baik, mengingat ke depan transaksi maya akan meningkat tajam," tandas dia.
‎Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menyatakan telah mendapat perlakuan kurang menyenangkan dari pihak Google. Perusahaan teknologi raksasa asal Amerika Serikat (AS) menolak diperiksa petugas pajak karena selama ini mangkir menyetor pajak di Indonesia.
‎Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Jakarta Khusus Ditjen Pajak, Muhammad Hanif, mengungkapkan manajemen Google dari Singapura telah menyambangi kantor pajak. Bahkan, manajemen dari Amerika Serikat (AS) berjanji akan datang dan menyelesaikan tunggakan pajaknya di Tanah Air.
"Tapi ternyata sebulan yang lalu, mereka action pemulangan surat perintah pemeriksaan. Google menolak diperiksa dan menolak ditetapkan sebagai Badan Usaha Tetap (BUT). Penolakan ini adalah mutlak indikasi pidana," tegasnya di kantor pusat Ditjen Pajak, Jakarta.
Google sudah terdaftar sebagai BUT yang memiliki aset dan mencari penghasilan di Indonesia. Dengan begitu, perusahaan ini mempunyai kewajiban membayar pajak kepada Indonesia.
Dengan keputusan Google tersebut, Hanif mengaku Ditjen Pajak dapat menggunakan penolakan tersebut menjadi bukti permulaan (buper). Ditjen Pajak, tegasnya, akan melakukan investigasi selepas periode pertama tax amnesty berakhir, termasuk langkah keras untuk mengejar pajak dari Google.
"Kita akan tingkatkan ini menjadi bukti permulaan, lakukan investigasi. Kita tunggu sampai akhir September ini karena Pak Dirjen akan membuka keran untuk meningkatkan penegakan hukum. Tapi sambil menunggu, kita diskusikan langkah keras apa yang bisa dilakukan," katanya.
‎Namun di sisi lain, PT Google Indonesia juga telah menampik melakukan penghindaran pajak. Perusahaan ini menyatakan telah mengikuti ketentuan pemerintah Indonesia.
Head of CommunicationGoogle Indonesia Jason Tedjasukmana menegaskan, Google akan terus bekerjasama dengan pemerintah Indonesia, termasuk masalah perpajakan.
"PT Google Indonesia telah beroperasi sebagai perusahaan Indonesia sejak tahun 2011. Kami telah dan akan terus bekerjasama dengan pemerintah Republik Indonesia dan telah dengan taat membayar semua pajak yang berlaku di Indonesia," kata dia. (Dny/Gdn)