Liputan6.com, Jakarta Pemerintah masih terus mengkaji rencana kenaikan tarif cukai rokok yang rencananya diputuskan sebelum akhir tahun. Terkait ini, Pengamat meminta pemerintah mengkaji secara matang saat memutuskan kenaikan tarif cukai yang berimbas ke harga rokok dan memberikan berbagai dampak di lapangan.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati memberikan masukan agar pemerintah bersikap lebih cermat dalam menaikkan cukai rokok.
Menurut dia, kesalahan dalam menentukan kebijakan akan berimbas meluas. Bukan hanya akan mengganggu aspek ekonomi, namun juga aspek kesehatan.
“Kalau hanya melihat dari satu aspek, tentu tidak akan efektif mencapai tujuan utama. Tetapi bisa jadi malah kontraproduktif. Di sini persoalannya bukan suka dan tidak suka untuk merokok, tetapi harus ada kebijakan yang efektif dan pasti di mana sesuai dengan pengendalian rokok serta prinsip cukai,” ujar dia, Senin (26/9/2016).
Advertisement
Baca Juga
Sebelumnya, muncul polemik kenaikan harga rokok hingga Rp 50 ribu. Ini bermula dari penelitian Prof. Hasbullah Thabrany dari Universitas Indonesia yang dipublikasikan pada akhir Agustus. Dalam penelitiannya, responden akan berhenti merokok ketika harga rokok mencapai Rp 50 ribu.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Heru Pambudi dalam beberapa kesempatan menyampaikan bahwa kenaikan harga rokok hingga Rp 50 ribu itu cukup tinggi.
Sementara Menteri Keuangan Sri Mulyani juga menyatakan, pemerintah akan melakukan penyesuaian kebijakan cukai, sesuai dengan Undang-Undang Cukai dan juga APBN 2017 yang hingga saat ini masih dikonsultasikan dengan berbagai pihak.
Menurut Enny, Industri tembakau merupakan salah satu industri strategis bagi Indonesia. Sebab, industri ini masih menjadi salah satu penyumbang terbesar penerimaan cukai negara.
“Kontribusi cukai rokok itu sangat besar, 70 – 80 persen harga rokok itu untuk penerimaan pajak, baik itu cukai, pajak langsung ataupun juga pajak daerah. Tidak ada satu industri pun yang dapat menggantikan kontribusi dari industri rokok,“ dia menjelaskan.
Di sisi lain, Enny menegaskan kenaikan harga rokok yang terlampau tinggi akan berpengaruh terhadap daya beli masyarakat. Sebab, frekuensi permintaan masyarakat untuk mengkonsumsi rokok masih sangat tinggi. Alhasil, masyarakat akan memilih produk yang lebih murah. Nantinya, hal tersebut malah memicu meningkatnya produksi rokok ilegal.
“Idealnya, kenaikan tarif cukai adalah sesuai dengan tingkat inflasi yaitu di kisaran 5 persen atau paling tinggi sesuai dengan persentase kenaikan target penerimaan negara dari cukai untuk tahun 2017, yaitu sebesar 6 persen. Hal ini demi menghindari munculnya masalah-masalah baru,” tambah dia.
Dengan tingkat cukai yang cukup tinggi, Enny menjelaskan peredaran rokok ilegal pun ikut melambung signifikan di pasaran. Persoalan ini, bukan sebuah proyeksi. Namun sudah terjadi ketika pemerintah menaikkan cukai secara masif dalam beberapa tahun terakhir ini.
Senada dengan Enny, pengamat Ekonomi dari Universitas Padjadjaran Kodrat Wibowo, menilai penyesuaian tarif cukai atau menaikkan harga rokok harus mempertimbangkan faktor daya beli masyarakat.
Apabila harga naik terlalu tinggi seperti yang diwacanakan, dikhawatirkan justru konsumen rokok yang permintaannya in-elastis akan beralih dari konsumsi produk rokok legal kepada produk rokok ilegal dengan harga jauh lebih murah.
Kodrat pun menyampaikan realisasi wacana kenaikan harga rokok ini pun harus mempertimbangkan semua aspek yang meliputi industri hasil tembakau, termasuk para pekerja dan masyarakat yang bergelut di bidang industri tembakau ini.
“Data Kementerian Perindustrian ada 400-500 ribu pegawai di industri rokok yang akan menganggur, dan celahnya ada sekitar 100 ribu petani tembakau dan turunannya. Ada warung, tukang asongan yang akan menganggur jika industri rokok ini mati,” tegas dia.(Nrm/Ahm)