Liputan6.com, Jakarta Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (DJPPR) menyatakan, pemerintah membutuhkan tambahan pembiayaan senilai Rp 47 triliun untuk menambal defisit fiskal yang diperkirakan naik hingga 2,7 persen dari PDB di APBN-P 2016. Dengan tambahan tersebut, kebutuhan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) menjadi Rp 654,4 triliun di tahun ini.
Direktur Surat Utang Negara DJPPR, Loto Srianaita Ginting mengungkapkan, pemerintah dan DPR telah mematok defisit fiskal sebesar Rp 296,7 triliun atau 2,35 persen terhadap PDB. Akan tetapi terjadi potensi pelebaran hingga 2,7 persen dari PDB di APBN-P 2016 akibat proyeksi kekurangan penerimaan negara.
Baca Juga
"Karena diperkirakan defisit melebar jadi 2,7 persen, maka target penerbitan SBN bruto naik Rp 47 triliun dari Rp 611,4 triliun menjadi Rp 654,4 triliun," terangnya saat Launching ORI Seri 013 di kantor Kemenkeu, Jakarta, Kamis (29/9/2016).
Advertisement
Rencana tambahan penerbitan surat utang tersebut, diakui Loto merupakan yang terbesar dalam sejarah. "Menerbitkan SBN dengan jumlah sebesar itu (Rp 654,4 triliun) mencatatkan sejarah penerbitan SBN di atas Rp 600 triliun," kata Loto.
Dari data DJPPR, kebutuhan penerbitan SBN Bruto sebesar Rp 654,4 triliun terdiri dari SBN Netto Rp 407,86 triliun, utang jatuh tempo 2016 sebesar Rp 215,09 triliun, cash management Rp 28,47 triliun dan Rp 3 triliun pembelian surat utang kembali (buyback).
Realisasinya sampai dengan 26 September 2016, pemerintah telah menerbitkan Rp 571,67 triliun atau 87,09 persen terhadap target Rp 611,40 triliun di APBN-P 2016. Rinciannya SBN Netto Rp 374,55 triliun atau 79,95 persen dari target, jatuh tempo Rp 181,2 triliun atau 84,25 persen, dan cash management sebesar Rp 15,91 triliun atau 55,95 persen dari target di APBN-P 2016.