Kebutuhan Pembiayaan Masih Tinggi, Penerbitan Obligasi Korporasi 2025 Diproyeksikan Tembus Rp 144 Triliun

PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) memproyeksikan penerbitan baru surat utang 2025 berkisar Rp 139- Rp 155 triliun, dengn titik tengah pada Rp 144 triliun. Direktur Utama Pefindo, Irmawati Amran menjelaskan, proyeksi itu merujuk pada tren kebutuhan pembiayaan atau refinancing yang masih tinggi.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 11 Des 2024, 18:25 WIB
Diterbitkan 11 Des 2024, 18:25 WIB
Akhir 2019, IHSG Ditutup Melemah
Pengunjung melintas dilayar pergerakan saham di BEI, Jakarta, Senin (30/12/2019). Pada penutupan IHSG 2019 ditutup melemah cukup signifikan 29,78 (0,47%) ke posisi 6.194.50. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) memproyeksikan penerbitan baru surat utang 2025 berkisar Rp 139- Rp 155 triliun, dengn titik tengah pada Rp 144 triliun. Direktur Utama Pefindo, Irmawati Amran menjelaskan, proyeksi itu merujuk pada tren kebutuhan pembiayaan atau refinancing yang masih tinggi.

Kebutuhan refinancing diperkirakan masih tinggi seiring dengan nilai surat utang jatuh tempo yang masih besar dengan proyeksi Rp 150,07- Rp 155,66 triliun, pasca tingginya penerbitan bertenor pendek di tahun 2024. Bersamaan dengan itu, aktivitas sektor riil diperkirakan relatif menguat.

"Pertumbuhan ekonomi diperkirakan terdorong oleh kebijakan pemerintah yang lebih ekspansif, dengan inflasi yang diperkirakan mash terkendali," kata Irmawati dalam Media Forum PEFINDO Semester II Tahun 2024, Rabu (11/12/2024).

Peluang penerbitan surat utang baru pada 2025 juga mempertimbangkan suku bunga acuan yang lebih rendah sejalan dengan ekspektasi berlanjutnya pelonggaran kebijakan moneter. Di samping itu, likuiditas lembaga keuangan yang semakin ketat mendorong perusahaan mencari alternatif dana yang relatif murah, seperti obligasi korporasi, untuk mendukung leverage keuangan dan permintaan bisnis.

"Ini juga menjadi dorongan bagi lembaga keuangan untuk mencari sumber dana baru untuk disalurkan menjadi kredit atau pembiayaan," kata Irmawati. Selain itu, premi diperkirakan relatif melandai, seiring dengan leverage keuangan yang membaik akibat suku bunga yang relatif lebih rendah.

Meski banyak peluang, 2025 juga menyimpan tantangannya tersendiri. Risiko geopolitik masih diperkirakan tinggi seiring dengan perang yang masih berlanjut, membuat pasar lebih volatile dan premi yang lebih besar. ⁠

 

Fluktuasi Nilai Tukar

IHSG Awal Pekan Ditutup di Zona Hijau
Pejalan kaki melintas dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di kawasan Jakarta, Senin (13/1/2020). IHSG menguat 0,34 persen atau 21 poin ke level 6.296 pada penutupan perdagangan Senin (13/1) sore ini. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Potensi fluktuasi nilai tukar yang bisa saja terjadi seiring dengan kemungkinan pelonggaran moneter di negara maju (utamanya AS) yang lebih lambat akibat ekonomi yang masih kuat dan risiko inflasi yang lebih kaku.

Dari sisi yield yang bisa saja cenderung kaku untuk turun seiring dengan rencana penerbitan surat utang pemerintah yang akanlebih besar. Sementara persaingan dari instrumen substitusi seperti SRBI & SUN, akan dapat membayangi dan membuat penyerapan penerbitan masih kurang maksimal.

"⁠Investor utama yang cenderung mengurangi ekspor pada peringkat tertentu (kategori BBB) dan sektor tertentu, membuat risiko penerbitan dari peringkat dan sektor tersebut terbatasi," pungkas Irmawati.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya