Negara ASEAN Berencana Terapkan Visa Tunggal

Penerapan single visa tersebut sudah jamak di lakukan di beberapa belahan dunia lainnya.

oleh Arthur Gideon diperbarui 29 Okt 2016, 14:55 WIB
Diterbitkan 29 Okt 2016, 14:55 WIB
Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro dalam acara Regional UnConference yang diadakan oleh Alumni Eisenhower Fellowship, di Nusa Dua, Bali.
Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro dalam acara Regional UnConference yang diadakan oleh Alumni Eisenhower Fellowship, di Nusa Dua, Bali.

Liputan6.com, Nusa Dua - Untuk mendorong pertumbuhan sektor pariwisata di wilayah Asia Tenggara (ASEAN), beberapa negara di kawasan tersebut termasuk Indonesia mendorong pemberlakuan visa tunggal atau single visa. Hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro dalam acara Regional UnConference yang diadakan oleh Alumni Eisenhower Fellowship, di Nusa Dua, Bali. 

Bambang menjelaskan, penerapan single visa tersebut sudah jamak di lakukan di beberapa belahan dunia lainnya. Salah satu contohnya adalah visa  Schengen yang diterapkan oleh Uni Eropa. 

“Kita ingin menempatkan negara ASEAN sebagai pasar bersama untuk industri pariwisata," jelas Bambang. Sektor pariwisata menjadi sumber penting yang mendukung pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN. “Kontribusinya terhadap GDP kian besar,” tambahnya.

Dalam acara tersebut, Bambang juga mengungkapkan bahwa perubahan dan Inovasi dipercayai dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN.

“Pemerintah memiliki komitmen untuk mempercepat pertumbuhan dengan investasi dalam pembangunan manusia (human development), terutama di bidang pendidikan dan kesehatan,” kata dia. 

Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan akan terwujud melalui adopsi sains, teknologi, dan promosi inovasi. “Tantangan inovasi adalah investasi dalam penelitian dan perkembangan. Indonesia masih tertinggal, baru 0,1 persen dari Produk Domestik Bruto atau GDP,” kata Bambang.

Konperensi sehari dengan format UnConference tersebut mengundang semua partisipan untuk aktif dalam diskusi yang mencari solusi atas sejumlah isu penting, mengambil tema: ASEAN Unity Through Changes Anda Innovation.

Acara dihadiri oleh 100 an alumni dari kawasan ASEAN, AS, Eropa, dan Australia. Selain Bambang Brodjonegoro, pembicara kunci lainnya adalah Cp-Founder dan Honorary Chairman ACER DR Stan Shih dan Wakil Dewan Eksekutif Eisenhower Fellowship, Christine Todd Whitman.

Stan Shih yang mengaku telah pensiun tapi tetap memonitor perkembangan inovasi di bidang teknologi, mengatakan bahwa fokus inovasi seharusnya tidak hanya dalam hal teknologi. “Tapi bagaimana teknoogi mendatangkan nilai tambah pada kehidupan yang lebih baik bagi manusia,” ujarnya.

Mengenai internet, Stan Shih mengatakan, “tantangannya bagaimana menghubungkan manfaat dari integrasi piranti keras, piranti lunak dan platform cloud untuk melayani kebutuhan masyarakat," kata dia.

Generasi milenial

Christine Whitman mengingatkan partisipan tentang kecenderungan generasi milenial untuk tidak percaya kepada institusi yang dianggap bagian dari kemapanan.

Dia mengutip survei yang dilakukan di AS saat kampanye Presiden AS, bagaimana milenial tidak percaya kepada berbagai institusi termasuk media dan politik.

“Salah satu inovasi yang perlu dilakukan adalah bagaimana meyakinkan milenial atas sejumlah isu penting, termasuk politik. Bagaimana menjangkau mereka?” kata Christine. Dia juga mengingatkan pentingnya implementasi atas apa yang kita inginkan.

Mantan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu menggarisbawahi pentingnya membangun kesadaran kaum muda tentang kehadiran ASEAN, juga peran pentingnya dalam membangun masyarakat bersatu di kawasan ini.

“Perubahan harus dilakukan oleh ASEAN, termasuk bagaimana membangun komunikasi ke kalangan muda, mengenai ASEAN. Kita harus berubah,” kata Mari Elka.

Eisenhower Fellowships adalah sebuah organisasi swasta, nirlaba, non-partisan yang menyelenggarakan program beasiswa jangka pendek yang dimulai sejak tahun 1953.

Program ini memberikan kesempatan bagi sosok berusia 32-45 tahun, yang berpotensi menjadi pemimpin di berbagai bidang profesi dan kegiatan kemasyarakatan untuk meningkatkan kemampuan kepemimpinannya melalui pengalaman belajar dan berinteraksi langsung dengan pihak-pihak yang terkait dengan minatnya. (Gdn/Ndw)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya