Liputan6.com, Jakarta - Tradisi dakwah para ulama kerap dibumbui dengan guyonan ringan yang justru mengandung makna dalam. Salah satunya datang dari ulama asal Rembang ini, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang lebih dikenal dengan nama Gus Baha.
Dalam satu ceramahnya, Gus Baha menyampaikan sebuah candaan bernuansa tasawuf yang membuat para jemaah tertawa, namun juga merenung akan hakikat derajat manusia di hadapan Allah.
Dikutip Rabu (23/04/2025) dari YT @MuhammadNurBinYusuf, Gus Baha menceritakan pengalamannya saat berada di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Advertisement
Gus Baha menyebut bahwa dirinya sudah lama berada di lingkungan UII, namun sebenarnya hanya ingin dikenal oleh Allah, bukan oleh manusia apalagi pejabat kampus seperti rektor.
Dengan gaya khasnya, Gus Baha menyampaikan, "Saya ini maunya dikenal Allah, tahu-tahu derajat saya diturunkan, disuruh kenal rektor, repot." ujar Gus Baha sembari tertawa.
Menurut Gus Baha, kondisi ini mirip dengan konsep dalam ilmu tafsir yang disebut tanazulatul maula, yaitu Allah yang menurunkan derajat-Nya dalam bahasa manusia agar bisa dimengerti oleh umat.
Ia mencontohkan ayat Al-Qur’an dari surat Al-Hadid ayat 11: "Man dzalladzi yuqridullah qardan hasanah?" atau "Siapakah yang (mau) memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik?"
Baca Juga
Simak Video Pilihan Ini:
Ingin Fokus Ngaji Saja
Padahal, kata Gus Baha, Allah tidak mungkin berhutang kepada makhluk-Nya. Semua yang dimiliki manusia sejatinya adalah milik Allah. Namun ayat itu digunakan agar manusia semangat dalam beramal.
"Allah bilang seolah-olah minta hutang, padahal semua milik-Nya. Tapi itu tanazulan, supaya kita merasa mulia bisa bantu agama Allah," ujar Gus Baha sambil tersenyum.
Konsep ini, menurut Gus Baha, juga berlaku dalam kehidupan sehari-hari. Ketika seseorang yang sudah tenggelam dalam makrifat harus berinteraksi dengan manusia biasa, maka itu bentuk penurunan derajat demi maslahat.
Ia bahkan menyamakan pengalamannya harus dikenal rektor sebagai bentuk kesediaan untuk turun dari maqam spiritual demi komunikasi sosial dan dakwah.
Gus Baha menambahkan, dirinya sebenarnya sudah lama ingin hidup dalam ketenangan. "Saya ini sudah daftar jadi resi," canda Gus Baha, merujuk pada kehidupan tenang penuh kontemplasi.
Meski begitu, ia mengaku tetap aktif mengaji setiap hari, bahkan tak pernah satu hari pun tanpa mengaji minimal empat kali sehari.
Fokus ngaji yang paling sering dilakukan oleh Gus Baha adalah ngaji fikih, karena menurutnya, leluhurnya memang dikenal sebagai ahli ushul fikih.
Advertisement
Gus Baha Sehari Ngaji Minimal 4 Kali
"Saya ini memang di rumah terus, ngaji terus. Enggak pernah keluar-keluar, tapi ya ngaji terus. Minimal empat kali sehari," jelas Gus Baha dengan gaya santainya.
Candaan Gus Baha soal “kenal rektor” tidak semata guyon kosong, tetapi menjadi pintu masuk pembahasan yang dalam soal keikhlasan dan posisi manusia di hadapan Allah.
Gus Baha juga menegaskan bahwa motivasi amal kebaikan harus tetap dibangun, bahkan jika itu melalui bahasa yang seolah membuat manusia merasa sepadan dengan Tuhan.
Dengan begitu, manusia merasa tertantang untuk bersedekah, beramal, dan membantu sesama, walau hakikatnya semua itu adalah milik dan kehendak Allah.
Dalam ceramah itu, Gus Baha juga menyinggung pentingnya keikhlasan dalam menjalani laku hidup. Meski merasa berada di maqam makrifat, seseorang tetap harus siap terlibat dalam urusan sosial.
Bagi Gus Baha, komunikasi antara manusia dan Tuhan adalah perjalanan turun-naik antara maqam spiritual dan tanggung jawab sosial.
Lewat candaan dan penjelasan santainya, Gus Baha berhasil menyampaikan pelajaran penting: menjadi orang yang dikenal Allah jauh lebih utama, tapi menjadi sarana kemanfaatan sosial tetap tak boleh ditinggalkan.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
