Neraca Perdagangan RI Surplus US$ 1,32 Miliar pada Februari

BPS melaporkan, kinerja ekspor Indonesia mencapai US$ 12,57 miliar pada Februari 2017 yang didominasi ekspor non migas.

oleh Septian Deny diperbarui 15 Mar 2017, 11:45 WIB
Diterbitkan 15 Mar 2017, 11:45 WIB
20161018-Ekspor Impor RI Melemah di Bulan September-Jakarta
Ratusan peti kemas di area JICT Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (18/10). Secara kumulatif, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Januari-September 2016, nilai ekspor sebesar US$ 104,36 miliar, turun 9,41% (yoy). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan surplus neraca perdagangan Februari 2017 mencapai US$ 1,32 miliar. Hal ini dipicu oleh surplus sektor nonmigas US$ 2,55 miliar, sementara neraca perdagangan di sektor migas defisit US$ 1,23 miliar.

Kepala BPS Suhariyanto, atau yang akrab disapa Kecuk, mengatakan kinerja nilai ekspor Indonesia pada Februari 2017 mencapai US$ 12,57 miliar atau lebih tinggi daripada realisasi impor di periode yang sama sebesar US$ 11,26 miliar.

"Terjadi suplus sebesar US$ 1,32 miliar‎. Kalau dilihat ekspor dan impor didominasi non migas," ujar dia di Kantor BPS, Jakarta, Rabu (15/3/2017).

Lebih rinci, Kecuk menjelaskan, nilai ekspor Februari 2017 sebesar US$ 12,57 miliar atau naik 11,16 persen dibanding periode sama tahun lalu sebesar US$ 11,31 miliar. Sementara dibandingkan Januari 2017, ekspor pada Februari mengalami penurunan sebesar 6,17 persen.

Sementara dari sisi impor, pada Februari 2017 tercatat US$ 11,26 miliar. Angka ini naik 10,61 persen dibandingkan Februari 2016. Sementara jika dibandingkan Januari 2017 naik sebesar 5,96 persen.

"Mudah-mudah suplus ke depan semakin meningkat," ujar dia.

Sebelumnya, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara memprediksi surplus neraca perdagangan Februari 2017 bakal merosot menjadi sekitar US$ 900 juta sampai US$ 1 miliar dibanding realisasi US$ 1,40 miliar di Januari ini. Penurunan tersebut akibat koreksi pertumbuhan ekonomi China yang menyeret ke bawah permintaan ekspornya.

"Ekspornya diprediksi sekitar US$ 11 miliar-US$ 12,5 miliar, sedangkan impor US$ 10,5 miliar-US$ 11 miliar. Jadi surplus sekitar US$ 900 juta-US$ 1 miliar didukung surplus non migas," kata Bhima saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta.

Lebih jauh dijelaskan Bhima, meski harga komoditas mengalami perbaikan sejak awal Januari lalu, penurunan surplus tidak terelakkan karena kontraksi dari permintaan China. Untuk diketahui, China memangkas pertumbuhan ekonomi 2017 menjadi 6,5 persen dari proyeksi sebelumnya 7 persen.

"Yang sedikit dicermati permintaan dari China karena mengkhawatirkan menyusul dipotongnya target pertumbuhan ekonomi China tahun ini yang di bawah 2016. Termasuk data Amerika Serikat sebagai tujuan ekspor tradisional mix," dia menerangkan.

Bhima berpendapat, pemerintah perlu mewaspadai tren kenaikan harga komoditas. Alasannya, dia bilang, harga minyak dunia tengah merosot di Maret ini sehingga dikhawatirkan neraca perdagangan Indonesia pun akan terkontraksi.

Dirinya berharap, pemerintah dapat mengantisipasi kondisi tersebut dengan mendorong hilirisasi industri, dan menarik investasi di sektor industri pengolahan. Dalam jangka panjang, membuka alternatif pasar baru.

"Selanjutnya negosiasi tarif bea masuk dengan Sri Lanka, Chili, dan lainnya. Butuh waktu hingga bisa direalisasikan ke peningkatan ekspor, karena impor barang konsumsi luar biasa besar ke Indonesia, bukan impor bahan baku," tutur Bhima.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya