Okupansi Hotel Merosot, BPS Beri Penjelasan

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Tingkat Penghunian Kamar (TPK) klasifikasi bintang pada hotel sebesar mencapai 48,38 persen pada Januari 2025 atau mengalami penurunan secara bulanan sebesar 9,68 persen dari bulan sebelumnya.

oleh Septian Deny Diperbarui 09 Apr 2025, 09:45 WIB
Diterbitkan 09 Apr 2025, 09:45 WIB
Ilustrasi hotel
Ilustrasi hotel. (Image by kstudio on Freepik)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Tingkat Penghunian Kamar (TPK) klasifikasi bintang pada hotel sebesar mencapai 48,38 persen pada Januari 2025 atau mengalami penurunan secara bulanan sebesar 9,68 persen dari bulan sebelumnya.

"TPK Januari 2025 mencapai 48,38 persen atau mengalami penurunan secara bulanan sebesar 9,68 persen namun mengalami peningkatan secara tahunan sebesar 1,66 persen," kata Deputi Bidang Statistik Produksi BPS M. Habibullah dalam konferensi pers, Jakarta, Selasa (8/4).

Sedangkan TPK klasifikasi hotel bintang pada Februari 2025 mencapai 47,21 persen atau mengalami penurunan baik secara bulanan dan secara tahunan masing-masing sebesar 1,17 persen poin dan 2,24 persen.

Secara keseluruhan terdapat 20 provinsi yang mengalami penurunan TPK Hotel Bintang pada Februari 2025 dibandingkan 2025. "Jadi Februari 2025 dibandingkan dengan Januari 2025. Sisanya sebanyak 18 provinsi mengalami kenaikan," paparnya.

Untuk TPK hotel klasifikasi bintang tertinggi pada Februari 2025 tercatat di Provinsi DKI yaitu sebesar 59,07 persen yang didorong antara lain oleh banyaknya event seperti konser dan pameran sepanjang tahun Februari 2025.

"Rata-rata lama menginap pada hotel klasifikasi bintang pada Februari 2025 selama 1,58 malam dengan rata-rata lama menginap tamu asing selama 2,37 malam sementara tamu Indonesia selama 1,49 malam," tutup dia.

 

Reporter: Siti Ayu Rachma

Sumber: Merdeka.com

Ramadan dan Idul Fitri Diramal Tak Mampu Dongkrak Ekonomi RI, Ini Sederet Penyebabnya

Kemenperin Akan Tingkatkan Daya Saing Industri Tekstil
Aktivitas jual beli bahan kain di Pasar Tanah Abang, Jakarta, Kamis (1/4/2021). Kemenperin ingin meningkatkan daya saing industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) nasional, salah satunya dengan berupaya mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku tekstil impor. (Liputan6.com/Johan Tallo)... Selengkapnya

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan tahunan (YoY) sebesar 5,02% pada kuartal IV 2024. Angka tersebut menandai pertumbuhan ekonomi yang cukup solid meskipun di tengah kondisi ekonomi global yang melambat.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan IV-2024 juga tercatat positif jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (Q-to-Q), yakni tumbuh sebesar 0,53%.

Dengan kinerja ekonomi yang mencatat pertumbuhan positif di akhir 2024, seberapa besar potensi untuk perekonomian domestik mencatat ekspansi di periode selanjutnya? Hal ini mengingat momentum Ramadan dan Idul Fitri yang akan mendorong konsumsi masyarakat di kuartal pertama 2025.

Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira memperkirakan aktivitas ekonomi Indonesia tak akan mencatat pertumbuhan yang tidak signifikan, meski didukung oleh momentum Ramadan dan Idul Fitri.

"Artinya pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama 2025 diperkirakan akan rendah. Meskipun ada Ramadan dan Lebaran tetapi sulit berada di angka 5 persen," ungkap Bhima kepada Liputan6.com di Jakarta, Kamis (27/2/2025).

 

Aktivitas Ekonomi

Pasar Tanah Abang Ramai Dikunjungi Warga
Warga memadati Pasar Tanah Abang untuk berbelanja kebutuhan lebaran, Jakarta, Senin (1/4/2024). (Liputan6.com/Herman Zakharia)... Selengkapnya

Pasalnya, aktivitas ekonomi di masa Ramadan masih dihantui oleh tingginya angka Pemutusan Kerja (PHK) di sektor padat karya. Adapun di sektor hilirisasi industri ada beberapa perusahaan yang mengalami kendala dari sisi produksi olahan.

"(Kondisi) itu bisa berdampak juga pada pendapatan masyarakat terutama di daerah Sulawesi," papar Bhima.

Faktor pelemahan ekonomi lainnya, menurut Bhima, adalah efisiensi belanja pemerintah. Dia menjelaskan, langkah tersebut juga bisa berdampak terhadap pendapatan masyarakat dan pelaku usaha di sektor akomodasi perhotelan, restoran, catering, serta sewa kendaraan.

"Jadi efeknya juga akan memperlambat pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada waktu Ramadan dan Lebaran.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya