Sri Mulyani: Tak Ada Lagi yang Bisa Mangkir Pajak Lewat AEoI

Sri Mulyani menunjukkan realisasi program pengampunan pajak di Indonesia kepada para Menkeu dan Gubernur Bank Sentral negara anggota G20.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 20 Mar 2017, 08:30 WIB
Diterbitkan 20 Mar 2017, 08:30 WIB
20170117- Sri Mulyani dan Rodrigo Chaves-Jakarta- Angga Yuniar
Menkeu Sri Mulyani memberikan paparan kebijakan Indonesia saat Indonesia Economic Quarterly di Jakarta, Selasa (17/1). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan negara-negara anggota G20 termasuk Indonesia sepakat untuk menjalankan kerja sama pertukaran informasi perpajakan otomatis (Automatic Exchange of Information/AEOI) paling lambat September 2018. Upaya tersebut dilakukan guna mencegah berbagai praktik penghindaran pajak di dunia.

Hal ini disampaikan Sri Mulyani dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara G20 di Kota Baden-baden, Jerman pada 17-18 Maret 2017.

Pertemuan tersebut didahului dengan “High Level Symposium on Global Economic Governance in a Multipolar World” pada 17 Maret 2017. Dihadiri para Menteri dan tokoh ekonomi terkemuka dunia.

"Pentingnya kerja sama perpajakan internasional untuk mengatasi penghindaran pajak," kata Sri Mulyani dalam keterangan resminya di Jakarta, Senin (20/3/2017).  

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menunjukkan realisasi program pengampunan pajak (tax amnesty) di Indonesia kepada para Menkeu dan Gubernur Bank Sentral negara anggota G20.

Dari pencapaian tax amnesty, diakui Sri Mulyani, banyak wajib pajak Indonesia yang selama ini tidak mendeklarasikan aset dan pendapatan yang disimpan di luar negeri.

"Dalam melaksanakan tax amnesty, hasilnya menunjukkan aset yang dideklarasikan sangat besar, sementara aset yang direpatriasi masih relatif kecil. Jadi kerja sama pertukaran informasi penting bagi tercapainya aturan dan implementasi perpajakan yang adil antar negara, tidak ada lagi tempat aman untuk para penghindar pajak di dunia," tegas dia.

Sri Mulyani pun mengingatkan kewajiban pajak atas perusahaan-perusahaan ekonomi digital. Kewajiban pajak ekonomi digital ini harus adil dan bagian terbesarnya harus dinikmati oleh negara yang menjadi lokasi kegiatan transaksinya, bukan di mana perusahaan tersebut terdaftar.

Lebih jauh dia menuturkan, Indonesia sebagai negara anggota G20 siap berpartisipasi dalam implementasi kerja sama pertukaran informasi perpajakan otomatis atau AEoI dan pelaksanaan prinsip penghindaran Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) secara menyeluruh dan efektif.

"Para Menkeu dan Gubernur Bank Sentral G20 secara bulat menyepakati agar program AEOI dan BEPS sepenuhnya diimplementasi mulai September 2017 dan selambat-lambatnya pada September 2018," dia menjelaskan.

Sri Mulyani melanjutkan, Indonesia memandang negara-negara anggota G20 harus bekerja sama untuk mewujudkan program ini secara kuat dan transparan, namun tetap memperhatikan keadilan dan kesiapan seluruh negara yang ingin ikut berpartisipasi di dalamnya.

Dalam hal ini, jangan sampai terjadi negara yang ingin bergabung dalam program AEOI dan BEPS ini kemudian menjadi korban dari program itu sendiri akibat ketidakmampuan negara tersebut menyiapkan diri.
 
Sri Mulyani menyatakan, perlu adanya kerja sama perpajakan yang lebih erat antarnegara mitra dagang demi mencegah kebocoran perpajakan yang timbul akibat aliran uang melalui perdagangan internasional.

"Kami berharap dengan penerapan AEoI dan BEPS, maka tidak ada lagi loophole (celah) bagi praktik penghindaran pajak internasional serta tidak ada lagi negara yang menggunakan perbedaan sistem pajak untuk melakukan inovasi instrumen keuangan yang bertolak belakang dengan semangat BEPS dan AEOI," tandasnya.

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya