Bea Cukai Diminta Optimalkan INSW Ketimbang Bentuk Satgas Impor

INSW merupakan loket elektronik tunggal untuk penyelesaian perizinan impor ekspor serta pengurusan dokumen kepabeanan dan kepelabuhanan.

oleh Nurmayanti diperbarui 11 Jul 2017, 21:15 WIB
Diterbitkan 11 Jul 2017, 21:15 WIB
Ilustrasi ekspor dan impor di pelabuhan.
Ilustrasi ekspor dan impor di pelabuhan.

Liputan6.com, Jakarta Rencana Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) membentuk Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Impor Berisiko Tinggi (PIBT) dinilai tak perlu saat ini.

Selain memboroskan anggaran, satgas ini tak menjadi kebutuhan karena optimalisasi fungsi dan koordinasi bea dan cukai yang seharusnya dikedepankan pemerintah.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai, yang diperlukan saat ini adalah mengoptimalkan Indonesia National Single Window (INSW) ketimbang membentuk satgas.

Pembentukan satgas juga akan memakan anggaran pemerintah serta dikhawatirkan berupa euphoria semata.

"Jadi seolah-olah dengan adanya satgas, seperti kemarin ada Satgas Pangan terus harga pangan stabil. Padahal itu semu, enggak menyelesaikan persoalan utamanya. Kayak pangan itu kan menjadikan fluktuasi pangan karena demand dan supply tidak balance," ujar dia di Jakarta, Selasa (11/7/2017).

Selain itu, ia juga menegaskan pembentukan satgas ini hanya memberatkan importir. Selain beban di sisi waktu, importir juga harus menanggung sisi biaya karena banyaknya hal yang dilewati sebelum memasukkan barang ke Tanah Air.

Seperti diketahui, INSW merupakan loket elektronik tunggal untuk penyelesaian perizinan impor ekspor serta pengurusan dokumen kepabeanan dan kepelabuhanan.

Konsep ini merupakan wujud reformasi birokrasi pelayanan publik. Dengan INSW, semuanya terpusat terkoordinasi dalam suatu pusat pengendali dan computerized.

"Satgas itu mestinya untuk memperkuat dan menggaransi aturan-aturan yang standar, bukan untuk menyelesaikan persoalan yang kacau balau ini. Jadi terbalik, mestinya instrumennya dulu diperkuat baru Satgas itu. Sementara itu single window ini kan baru wacana terus, pengaplikasiannya kan belum real di lapangan," ujar dia.

Menurutnya, Ditjen Bea dan Cukai salah kaprah jika ingin membentuk satgas ini. Sebab, fungsi bea dan cukai sebenarnya hanya untuk mengendalikan produk yang masuk ke Indonesia, bukan menentukan kriteria barang itu boleh masuk atau tidak.

Senada, Anggota Komisi XI DPR RI Sukiman menilai Ditjen Bea dan Cukai tidak perlu membentuk satgas. Ini hanya akan menunjukkan instansi ini tidak dapat melakukan tugas dan fungsi pokonkya (tupoksi) dengan baik.

Bea dan cukai dinilai lebih baik memaksimalkan tupoksinya serta mempertanggungjawabkannya. "Kita harus mempertimbangkan. Misalnya, Satgas pangan, jangan sampai ada satgas dari Kepolisian akhirnya baru menertibkan," tegas dia.

Di sisi lain, dia khawatir, keberadaan satgas tersebut akan memberikan beban anggaran tambahan bagi negara. "Karena itu, satgas ini tidak perlu paling tidak meringankan beban dan biaya anggaran. Kecuali Bea dan Cukai sudah tidak mampu melaksanakan tugasnya," dia menandaskan.

Untuk diketahui, Ditjen Bea dan Cukai berencana membentuk Satgas Penertiban Impor Berisiko Tinggi. Pembentukan Satgas ini nantinya akan tertuang dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) yang akan ditandatangani Presiden Joko Widodo.

Dalam draft Perpres, pembentukan satgas diperlukan karena banyaknya praktik tidak sehat di pelabuhan dan perbatasan dan dapat merusak sendi perekonomian.

Dalam draft tersebut, tugas satgas adalah melaksanakan penertiban impor berisiko tinggi di pelabuhan utama dan perbatasan wilayah Indonesia. Ketua Satgas dapat menetapkan pelabuhan lain dan atau perbatasan yang akan dilakukan penertiban.

Wewenang Satgas nantinya adalah melakukan pengumpulan data dan informasi dengan menggunakan teknologi informasi dari kementerian/lembaga atau pihak lain.

Membangun sistem pencegahan dan penertiban impor berisiko tinggi. Melakukan operasi tangkap tangan serta melakukan kegiatan evaluasi kegiatan penertiban impor berisiko tinggi.

Tonton video menarik berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya