Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah harus mampu membeli saham milik PT Freeport Indonesia, setelah perusahaan tersebut setuju melepas sahamnya (divestasi) dengan total 51 persen.
Direktur Center for Indonesia Resources Strateic Studies (Cirruss) Budi Santoso mengatakan, setelah Freeport melepas sahamnya, pemerintah seharusnya mampu membeli‎ saham tersebut.
"Tidak ada alasan pemerintah tidak sanggup. Pasti bisa," kata Budi‎, saat berbincang dengan Liputan6.com, di Jakarta, Selasa (29/8/2017).
Advertisement
Namun menurut Budi, harga saham yang diajukan Freeport nanti tidak boleh menyertakan kandungan yang ada di dalam area tambang. Lantaran hal tersebut merupakan kekayaan Indonesia sendiri. "Tetapi jangan sampai pemerintah membeli barangnya sendiri," ujar dia.
Baca Juga
Budi mengungkapkan, bedasarkan hukum di Indonesia, mineral adalah kekayaan negara dan baru bisa menjadi milik penambang setelah membayar kewajiban, salah satunya royalti‎.
"Jadi Freeport tidak bisa menjual sahamnya seperti dia jual saham secara umum (cadangan mineral dimasukan dalam valuasinya)," ujar Budi.
Untuk diketahui, saat ini pemerintah telah memiliki saham Freeport sebesar 9,36 persen. Dengan begitu, saham yang harus dilepas perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut sebesar 41,64 persen, untuk menggenapi saham menjadi 51 persen.
Saksikan Video Menarik di Bawah Ini:
Freeport Sepakati Negosiasi dengan Pemerintah Indonesia
Sebelumnya, PT Freeport Indonesia mengikuti keinginan pemerintah Indonesia. Perusahaan ini menyepakati empat poin negosiasi seiring perubahan status Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menyebutkan, poin yang menjadi kesepakatan terkait pelepasan saham (divestasi) dengan total sebesar 51 persen kepada pihak nasional. Hal ini sesuai dengan keinginan pemerintah. Untuk detail mekanisme pelepasan saham dan waktunya, akan dibahas lebih lanjut dalam pekan ini.
"Pertama itu mandat Bapak Presiden bisa diterima Freeport, divestasi yang dilakukan Freeport 51 persen total," kata Jonan, di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa 29 Agustus 2017.
Poin kedua, kata Jonan, berkaitan dengan pembangunan fasilitas pengelolaan dan pemurnian mineral (smelter), harus dilakukan dalam lima tahun sejak IUPK terbit. Targetnya pembangunan smelter rampung pada Januari 2022.
Menurut Jonan, Freeport juga telah sepakat memberikan Indonesia bagian lebih besar ketika sudah menyandang status IUPK, dibanding‎ saat berstatus KK. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, tentang pertambangan mineral dan batu bara (minerba).
Selain itu, kedua belah pihak menyetujui masa operasi Freeport diperpanjang 2x10 tahun, usai habisnya masa kontrak ‎pada 2021. Dengan begitu, Freeport bisa mengajukan perpanjangan masa operasi untuk masa pertama sampai 2031. Itu jika memenuhi persyaratan diperpanjang kembali sampai 2041.
Advertisement