Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah mengabulkan keinginan PT Freeport Indonesia terkait stabilitas iklim investasi. Hal ini merupakan salah satu poin yang didapat dari proses negosiasi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, dengan setuju Freeport Indonesia melepas status Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan berniat menambah investasi sebesar US$ 20 miliar, maka pemerintah juga perlu memberikan kepastian investasi ke perusahaan tersebut.
"Untuk bisa Freeport investasi US$ 20 miliar, mereka butuh kepastian dari pemerintah soal iklim investasi," kata Sri Mulyani, di Kantor Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Jakarta, Selasa (28/8/2017).
Advertisement
Baca Juga
Kondisi ini sangat menantang, karena Undang-Undang Perpajakan dan Undang-Undang Mineral dan Batubara (Minerba) memiliki komposisi sendiri dalam penetapan pemungutan pajak. Sementara pemerintah harus memberikan kepastian terhadap fiskal.
"Dalam komposisi ini yang paling menantang, masing-masing komposisi punya input Undang-Undang yang berbeda. di Undang-Undang Minerba lebih dikasih keleluasaan semua boleh dinegoisasikan asalkan penerimaan negara bisa lebih besar. Ini untuk landasan kepastian rezim fiskalnya," papar Sir Mulyani
Menurut Sri Mulyani, timnya akan berusaha agar kepastian fiskal bisa diberikan ke Freeport, berupa komposisi penerimaan negara dan kepastian pajak yang diberikan. Hal ini akan dicantumkan dalam lampiran IUPK Freeport. "Kita lihat tim untuk lihat di Undang-Undang Perpajakan apakah itu bisa dikasih kepastian," tutup Sri Mulyani.
Tonton Video Menarik Berikut Ini:
Tunduk
PT Freeport Indonesia akhirnya mengikuti keinginan pemerintah Indonesia. Perusahaan ini menyepakati empat poin negosiasi seiring perubahan status Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menyebutkan, poin yang menjadi kesepakatan terkait pelepasan saham (divestasi) dengan total sebesar 51 persen kepada pihak nasional. Hal ini sesuai dengan keinginan pemerintah. Untuk detail mekanisme pelepasan saham dan waktunya, akan dibahas lebih lanjut dalam pekan ini.
"Pertama itu mandat Bapak Presiden bisa diterima Freeport, divestasi yang dilakukan Freeport 51 persen total," kata Jonan, di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (29/8/2017).
Poin kedua, kata Jonan, berkaitan dengan pembangunan fasilitas pengelolaan dan pemurnian mineral (smelter) harus dilakukan dalam lima tahun, sejak IUPK terbit. Targetnya pembangunan smelter rampung pada Januari 2022.
Menurut Jonan, Freeport juga telah sepakat memberikan Indonesia bagian lebih besar ketika sudah menyandang status IUPK, dibanding saat bersatatus KK. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, tentang pertambangan mineral dan batu bara (minerba).
Selain itu, kedua belah pihak menyetujui masa operasi Freeport diperpanjang 2x10 tahun, usai habisnya masa kontrak pada 2021. Dengan begitu, Freeport bisa mengajukan perpajangan masa operasi untuk masa pertama sampai 2031. Itu jika memenuhi persyaratan diperpanjang kembali sampai 2041.
"Ada perpanjangan masa operasi masimum 2x10 tahun sampai 2031 dan 2041, perpanjangan pertama bisa langsung diajukan," tutup Jonan.
Negosiasi pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia berlangsung sejak April 2017. Hal ini dilatarbelakangi penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Tambang Mineral dan Batu Bara.
Payung hukum tersebut menyebutkan, perusahaan tambang mineral yang ingin tetap mengekspor mineral olahan pasca-11 Januari 2017 harus melakukan beberapa hal. Di antaranya mengubah status Kontrak Karya menjadi IUPK, membangun smelter, divestasi 51 persen ke pihak nasional.
Advertisement