Bisnis Online Gerogoti Pasar Konvensional

Satu per satu gerai atau toko ritel lokal maupun asing tumbang.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 21 Sep 2017, 13:39 WIB
Diterbitkan 21 Sep 2017, 13:39 WIB
Ilustrasi E-commerce
Ilustrasi E-commerce (Liputan6.com/Sangaji)

Liputan6.com, Jakarta Satu per satu gerai atau toko ritel lokal maupun asing tumbang. Beberapa perusahaan pun di ambang kebangkrutan. Mulai dari 7-Eleven, Matahari Departement Store, Nyonya Meneer, sampai yang terbaru raksasa ritel mainan global Toys "R" Us yang terlilit tumpukan utang.

Ekonom sekaligus Rektor Universitas Paramadina, Firmanzah menilai, ekonomi dunia saat ini berada pada fase transformasi bisnis yang cukup radikal. Transformasi ini mengarah pada teknologi yang membawa perubahan besar sehingga fenomena runtuhnya bisnis konvensional terjadi di dalam maupun luar negeri.

"Ekonomi dunia sekarang berada pada transformasi bisnis yang radikal. Di kurva ekonomi, tidak lagi moving along to curve, tapi ke shifting (pergeseran). Yang membuat shifting adalah teknologi, sehingga mengubah proses bisnis yang terjadi saat ini," katanya saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Rabu (20/9/2017).

Firmanzah menjelaskan, kehadiran teknologi informasi maupun komunikasi telah membabat keberadaan toko ritel konvensional yang selama ini menjadi perantara antara produsen dan konsumen, seperti supermarket, hypermarket. Tak heran, toko online (e-commerce) semakin menjamur.

Lanjutnya, toko online tumbuh subur karena didukung berbagai faktor, di antaranya biaya internet yang murah, penetrasi ponsel pintar (smartphone) yang cukup tinggi di masyarakat, sistem logistik yang semakin andal, sistem pembayaran terpercaya.

"Faktor-faktor ini yang meningkatkan transaksi e-commerce. Bahkan ada yang menyebut, e-commerce kita akan mendominasi penjualan ritel pada periode 2030," ucap mantan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu.

Firmanzah mengaku, keberadaan teknologi pun sudah menguasai sektor perbankan. Data terakhir di Eropa menyebut, ada sekitar 45 ribu kantor cabang bank ditutup karena perubahan pola nasabah dalam bertransaksi maupun mencari informasi. Semua tergantikan oleh internet banking, dan layanan online perbankan lainnya.

"Di Indonesia pun sudah jarang kan ke kantor cabang, sehingga transaksi internet banking melonjak tinggi. Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun mendorong cashless society berbasis teknologi," tuturnya.

"Ada yang menyebut destruktif, dislokasi, tapi saya bilang ini adalah tranformasi bisnis yang cukup radikal," tegas Firmanzah.

 

 

 

Bertahan dari Serbuan Toko Online

Di tengah gempuran teknologi yang berkembang cepat dan menjamurnya toko online, perusahaan dituntut untuk berinovasi serta mengikuti perkembangan zaman. Tidak melulu terpaku pada gaya lama sehingga konsumen lari mengikuti perubahan pola konsumsi.

"Selain teknologi, faktor lain juga ada penurunan daya beli. Masyarakat cenderung mencari barang lebih murah sehingga mempengaruhi pola konsumsi, yang tadinya masih menerima kemahalan, sekarang mencari kanal baru yang menawarkan harga lebih murah," jelas Firmanzah.

Menurutnya, langkah pertama perusahaan harus mengevaluasi strategi bisnis. Artinya mengikuti perkembangan tren saat ini, baik itu target pertumbuhan, rencana investasi yang tentunya melibatkan teknologi.

Kedua, lanjut Firmanzah, keputusan menggunakan teknologi proses bisnis harus diiringi dengan kemampuan karyawan untuk melek teknologi, seperti menggelar pelatihan, workshop, maupun banchmarking agar kompetensi karyawan meningkat dalam penggunaan teknologi.

"Apa yang dialami Toys "R" Us karena mereka terlambat membaca peluang bahwa masa depan pendapatannya tergerus dengan e-commerce. Sedangkan Matahari mulai membaca atau intuisinya mengarah pada pengembangan toko online-nya sehingga melakukan efisiensi dengan menutup dua gerai," terangnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya