Liputan6.com, Jakarta - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) atau BPJS Kesehatan menegaskan program jaminan kesehatan nasional kartu Indonesia sehat atau lebih dikenal program BPJS Kesehatan dihitung dengan pendekatan dan prinsip anggaran berimbang.
Untuk mencapai anggaran berimbang tersebut, ada sejumlah prinsip yang dipenuhi, antara lain pengeluaran dan pendapatan harus sama, pendapatan utama bersumber dari iuran peserta. Namun, berdasarkan hitungan aktuaria, iuran saat ini belum sesuai angka ideal. Oleh karena itu, terjadi defisit.
"Karena iuran ini belum sesuai angka idealnya, program ini structurally unfunded. Akan terjadi defisit sampai kapan pun," ujar manajemen BPJS Kesehatan, seperti dikutip dari keterangan tertulis, Selasa (26/9/2017).
Advertisement
Baca Juga
Manajemen BPSJ Kesehatan menyebutkan, defisit anggaran sudah diketahui sejak awal dan dihitung sejak penyusunan anggaran akhir 2017. Jadi, kabar defisit anggaran bukan tiba-tiba.
"Sudah dihitung dari awal. Misalnya ada pemberitaan pada Agustus 2017, BPJS Kesehatan defisit, sesungguhnya hal ini sudah diketahui dan dihitung sejak penyusunan anggaran pada akhir 2016. Jadi, bukan tiba-tiba," tulis BPJS Kesehatan.
Adapun defisit tersebut dapat diketahui dengan memiliki data historis yang lengkap sehingga bisa prediksi dari awal. Sesuai prinsip jaminan sosial kesehatan, semua harus bisa diprediksi.
"Jutaan data dianalisis. Berapa banyak masyarakat menggunakan BPJS Kesehatan dalam setiap bulannya, berapa rupiah rata-rata biaya kesehatan sekali menggunakan, berapa besar biaya yang harus dikontrol dalam pelayanan sehingga tidak terjadi pembayaran yang tidak perlu (medical unnecessity dan overconsume), yang semuanya membutuhkan keahliaan tertentu," jelas BPJS Kesehatan.
Akan terjadinya defisit anggaran di BPJS Kesehatan tersebut sudah diprediksi oleh pihak yang terlibat. Dalam pengesahan Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT) BPJS Kesehatan, sesuai regulasi yang terlibat adalah Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, dan Dewan Jaminan Sosial Nasional.
"Semua pihak di atas mendalami prediksi terjadinya defisit jauh sebelumnya. Artinya, dalam hal ini setahun sebelum program berjalan, sudah diketahui, program JKN KIS akan terjadi defist," tulis BPJS Kesehatan.
Angka defisit terlihat dalam penyusunan RAKT, kemudian diantisipasi bersama termasuk pilihan dan komitmen pemerintah untuk atasi defisit melalui anggaran negara. "Bukan dengan menaikkan iuran atau mengurangi manfaat program bagi masyarakat. Inilah komitmen luar biasa dari pemerintah untuk tetap hadirkan negara bagi rakyatnya di sektor kesehatan," tulis BPJS Kesehatan.
Untuk menutupi defisit anggaran BPJS Kesehatan itu, regulasi menyatakan ada sejumlah opsi. Defisit ditutup antara lain dengan opsi mengurangi manfaat pelayanan kesehatan. Misalnya pelayanan untuk kelompok diagnosis penyakit-penyakit jantung tidak dilayani lagi. "Pasti defisit hilang dengan sendirinya. Namun, ini tidak akan menjadi pilihan," tulis BPJS Kesehatan.
Opsi lainnya, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 87 Tahun 2013, pemerintah menyuntikkan dana tambahan lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk mengatasi defisit. "Ini menjadi pilihan saat ini. Ini adalah komitmen pemerintah untuk tetap menghadirkan negara dalam hal memberikan jaminan kesehatan bagi rakyatnya," tulis BPJS Kesehatan.
Saat ini dipersiapkan delapan opsi untuk memastikan keberlanjutan program JKN KIS tanpa bebani masyarakat, antara lain pemanfaatan pajak rokok atau pungutan untuk kesehatan, anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) khusus untuk JKN, share biaya lebih efektif ke asuransi Jasa Raharja dan penyakit akibat kerja ke BPJS Ketenagakerjaan.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Â
Potensi Defisit Rp 9 Triliun
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) atau BPJS Kesehatan berpotensi mengalami defisit pendanaan (mismatch) untuk pembayaran klaim peserta sebesar Rp 9 triliun pada tahun ini. Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh kekurangan bayar iuran para pesertanya.
Direktur Kepatuhan Hukum dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan B‎ayu Wahyudi menjelaskan, dari perhitungan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) terdapat selisih pembayaran iuran sebesar Rp 13 ribu per peserta. Sedangkan jumlah peserta pada kategori tersebut mencapai 92,4 juta jiwa.
"Dari hasil perhitungan, PBI itu bayar Rp 23 ribu, harusnya dibayar Rp 36 ribu. Itu sudah selisih Rp 13 ribu. Bayangkan Rp 13 ribu dikali‎ 92,4 juta jiwa," ujar dia di Kantor Kementerian Perdagangan (Kemendag), Jakarta, Senin 25 September 2017.
Selain itu, defisit tersebut juga disumbang oleh kekurangan bayar iuran peserta bukan penerima upah (PBPU). Selisih pembayaran iuran di kategori ini bahkan diperkirakan lebih besar lagi.
"Itu‎ dari selisih PBI, saja belum dari PBPU. Kelas I itu Rp 81 ribu per bulan, tetapi kelas II ini hanya Rp 51 ribu seharusnya (bayar) Rp 68 ribu, berarti selisih Rp 17 ribu. Kemudian kelas III yang seharusnya itu Rp 53 ribu hanya dibayar Rp 25.500," kata dia.
Bayu menuturkan, perhitungan mismatch ini bukan hanya berasal dari BPJS Kesehatan ini, tetapi juga dari kementerian dan lembaga lain seperti Kementerian Keuangan.
"‎Bayangkan ini sudah diperhitungkan dari perhitungan DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional) kemudian, Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, BPJS," lanjut dia.
Advertisement