Liputan6.com, Jakarta Jumlah industri rokok mengalami penurunan yang signifikan dalam 8 tahun terakhir. Sempat menyentuh angka hampir 5.000 industri, kini yang aktif hanya tersisa 150 industri.
Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Ismanu Sumiran mengatakan, pertumbuhan industri rokok sempat mencapai puncaknya pasca tumbangnya orde baru. Pada saat era reformasi di mana desentralisasi bergulir, turut berdampak pada pertumbuhan industri ini.
Baca Juga
"Sejarah menoreh industri ini. Di 1998, akhir orde baru 600 perusahaan. Ketika reformasi terjadi desentralisasi kebijakan, pemda punya hak menentukan kebijakan termasuk industri rokok. Semua diatur pemda. Ada pemda yang jual pita cukai, mengakibatkan industri tumbuh, dalam 3-4 tahun tumbuh hampir 5 ribu industri," ujar dia di kawasan Kuningan, Jakarta, Selasa (24/10/2017).
Advertisement
Namun dalam 8 tahun terakhir, industri ini mulai mengalami penurunan yang signifikan. Dari 5.000 industri, saat ini jumlah industri rokok yang tercatat dan memiliki izin tinggal sekitar 600 industri. Sedangkan yang masih aktif berproduksi hanya sekitar 150 industri saja.
"Dari 2009 ke 2016, jumlah industri turun 81,6 persen. Dari 4.900-an, sisa 600 yang berizin, dan hanya 100-150 yang produksi aktif, kadang beli pita cukai kadang tidak. Turunnya industri ini bagian dari anti klimaks," kata dia.
Turunnya jumlah industri ini, lanjut Ismanu, juga berdampak pada efisiensi tenaga kerja. Setidaknya dari 6 juta pekerja langsung di industri rokok, kini hanya tinggal 200 ribu yang tercatat aktif bekerja di industri rokok.
"Tenaga kerja yang terlibat awalnya 6 juta, tapi terus menurun, penurunan ini karena jenis sigaret kretek tangan makin terpinggirkan. Jadi cari Gudang Garam, Minakjinggo mulai susah. Tapi kami ingin ini (pekerja) dipertahankan, jam kerja kita kurangi, tidak langsung PHK. Awalnya memang terjadi kemelut, banyak yang hadapi kesulitan," tandas dia.