Liputan6.com, Jakarta Biaya operasional PT Pertamina (Persero) diprediksi membengkak Rp 3 triliun, jika 150 lembaga penyalur resmi Bahan Bakar Minyak (BBM) satu harga telah beroperasi.
Direktur Utama PT Pertamina Elia Massa Manik mengatakan, Pertamina menanggung biaya ‎penyaluran dalam pelaksanaan program BBM satu harga.
Tahun ini ada 48 titik lembaga penyalur BBM satu harga yang dipasok dari Pertamina. Seiring beroperasinya lembaga penyalur ini, biaya yang ditanggung perusahaan mencapai Rp 280 miliar.
Advertisement
Baca Juga
"Kalau kita hitung tahun ini, karena ini baru mulai, cost kita sampai Rp 280 miliar di 2017," kata Elia, di Jakarta, Selasa (5/12/2017).
Elia melanjutkan, jumlah lembaga penyalur akan terus bertambah dalam 2 tahun ke depan, dengan begitu biaya operasional pengiriman yang ditanggung Pertamina pun membengkak.
Pada 2018, lembaga penyalur BBM Satu Harga akan menjadi 104 titik. Dari sini, membuat biaya operasional bertambah Rp 1,3 triliun.
Demikian pula pada 2019, lembaga penyalur kembali bertambah menjadi 150 titik sesuai target. Dengan begitu biaya operasional Pertamina membengkak kembali menjadi Rp 3 triliun.
Menurut Elia, meski Pertamina menanggung beban biaya operasional besar atas pelaksanaan BBM satu harga, pemerintah belum pernah menyinggung masalah kompensasi yang diberikan ke Pertamina atas dijalaninya tugas tersebut.
"Per tahun, beban biaya itu diberikan ke Pertamina. Ini belum ada pembicaraan yang dikompensasikan,"‎ dia menandaskan.
BBM Satu Harga Bukan Sebab Pertamina Kehilangan Pendapatan
PT Pertamina (Persero) dinilai perlu terus menjalankan program Bahan Bakar Minyak (BBM) Satu Harga, meski perusahaan plat merah tersebut tengah menghadapi potensi kehilangan pendapatan sebesar Rp 19 triliun.
Pengamat Energi dari Universitas Gajah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan, potensi kehilangan pendapatan yang dialami Pertamina bukan disebabkan penugasan pemerintah dengan menjual Premium dan program BBM Satu Harga.
"Kalau kehilangan pendapatan disebabkan tidak dinaikkannya harga BBM Premium. Sebab pemerintah juga tidak menaikkan harga BBM premium sepanjang 2016," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (1/12/2017).
Selain itu, lanjut dia, penugasan pemerintah soal BBM Satu Harga juga dinilai bukan sebagai penyebab hilangnya pendapatan Pertamina. "Kalau begitu, nanti kebijakan BBM Satu Harga akan selalu menjadi kambing hitam, manakala pendapatan Pertamina mengalami penurunan," ungkap dia.
Menurut Fahmy, pada masa lalu, peningkatan laba Pertamina juga bukan dikontribusi dari kenaikan harga Premium, melainkan efisiensi yang dilakukan oleh manajemen di dalamnya. Oleh sebab itu, Pertamina saat ini juga perlu melakukan efisiensi di internal perusahaan.
"Peningkatan laba Pertamina itu bukan berasal dari peningkatan pendapatan penjualan, tetapi lebih dipicu oleh efisiensi besar-besaran‎," tandas dia.
Â
Â
Advertisement