Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mencatat terjadi penambahan titik rawan gempa sebanyak 214 titik sejak periode 2010-2017.
Peta gempa 2017 menunjukkan ada 295 titik rawan gempa di Indonesia, sehingga pemerintah harus memastikan kualitas bangunan gedung dan kekuatan infrastruktur, antara lain jembatan, bendungan, dan terowongan jalan.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian PUPR Danis H Sumadilaga mengungkapkan, berdasarkan peta gempa 2017, titik rawan gempa di seluruh wilayah Indonesia bertambah dari 214 titik menjadi 295 titik. Sementara peta gempa 2010 menunjukkan titik rawan gempa di Tanah Air hanya 81 titik.
Advertisement
Baca Juga
"Artinya apa, risiko terjadinya gempa di seluruh kawasan Indonesia semakin besar. Ini bukan kita menakut-nakuti karena kenaikannya signifikan 214 titik," kata dia saat Konferensi Pers di kantornya, Jakarta, Jumat (26/1/2018).
Danis menyebut, titik rawan gempa paling banyak teridentifikasi di wilayah Indonesia bagian timur seiring penambahan sesar aktif. Jumlahnya mencapai 154 titik rawan. Sesar aktif adalah hasil dari aksi gaya lempeng tektonik yang merupakan salah satu sumber pemicu gempa.
Data 2010 dibandingkan 2017, titik rawan gempa di Sumatera dari 19 menjadi 55 titik. Selanjutnya di Jawa dari 10 menjadi 37 titik, Sulawesi dari 12 menjadi 49 titik, Maluku-Papua dari 12 titik menjadi 79 titik, serta Nusa Tenggara-Banda dari sebelumnya nihil menjadi 75 titik.
"Jadi memang kecuali di Kalimantan. Wilayah itu relatif aman terhadap gempa. Sedikit sekali daerah yang merah, hanya di dekat perbatasan Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan," Danis menjelaskan.
Sepanjang 2017, dia mencatat 8.693 kejadian gempa. Itu berarti ada 718 gempa setiap bulan di Indonesia pada periode tersebut. Skalanya ada gempa yang merusak sebanyak 19 kali, gempa berkekuatan lebih dari 5 mW sebanyak 208 kali, dan gempa yang dirasakan sebanyak 573 kali.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kualitas Bangunan RI Tahan Gempa
Danis mengungkapkan, untuk menghadapi gempa, pemerintah melalui Kementerian PUPR telah mengeluarkan peraturan dalam bentuk Standar Nasional Indonesia (SNI) yang berkaitan dengan gedung, struktur jembatan, struktur baja, dan lainnya.
"Norma standar ini kita sosialisasikan supaya masyarakat dan pemilik atau pengelola gedung meningkatkan awareness untuk memenuhi kaidah-kaidah teknis, baik perencanaan, saat pembangunan, maupun pemeliharaannya. Harus dicek rutin," jelas Danis.
Sebagai contoh, sambungnya, untuk bangunan gedung di atas delapan lantai harus melalui pengujian dari tim ahli konstruksi pada saat perencanaan. Selanjutnya setelah beroperasi atau berfungsi, harus rutin dilakukan audit atau pengecekan setiap lima tahun sekali.
"Tapi secara keseluruhan kualitas bangunan di Indonesia sudah tahan gempa. Memang kita harus periksa lagi, dan kita belum sepenuhnya melakukan audit. Jadi rekomendasi kita, audit bangunan setiap lima tahun, termasuk rumah-rumah masyarakat apalagi setelah ada kejadian gempa," ujar Danis.
Advertisement