Data Produksi Beras Tak Jelas Pengaruhi Tata Kelola Pangan

Stok Bulog memang sudah terlihat mulai menurun sejak Desember 2017.

oleh Nurmayanti diperbarui 05 Feb 2018, 19:27 WIB
Diterbitkan 05 Feb 2018, 19:27 WIB
bulog
Beras Bulog yang seharusnya untuk operasi pasar Januari 2018, masih tersimpan rapi di gudang beras milik S, Cilacap. (foto : Liputan6.com/edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Jakarta Keakuratan data produksi beras nasional masih menjadi pertanyaan seiring melonjaknya harga beras di awal tahun ini hingga saat ini. Pernyataan swasembada dinilai bertolak belakang dengan kenyataan, terjadinya lonjakan harga beras yang membuat ketidakjelasan tentang kondisi pasokan pangan.

Pengamat Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas, mengatakan klaim adanya surplus beras sebanyak 17,6 juta pada akhir 2017 membuat pemerintah kurang waspada.

“Karena datanya kacau balau, tidak akurat, yang menyebabkan tatakelola pangan kita menjadi kacau pula,” ujar dia, Senin Senin (5/2/2018).

Dia pun mempertanyakan data produksi beras pemerintah. Sebab apa yang tertera dalam data, sering tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.

Saat ini hanya Kementerian Pertanian yang menerbitkan data terkait produksi pertanian. Ini setelah di awal 2016, Badan Pusat Statistik (BPS) memutuskan tak lagi mengeluarkan data terkait produksi produk-produk pertanian.

Dwi kembali mengingatkan pada pengalaman di 2015, ketika data menyebutkan ada surplus beras sebesar 10 juta ton, namun kenyataannya stok beras di pasaran langka.

Dwi Andreas menjelaskan, sejatinya bukan hanya BPS yang terlibat dalam mengambilan data terkait produksi ini. Ada dua variabel besar yang membentuknya, yakni terkait luasan lahan dan produktivitas.

Untuk luasan lahan, Kementerian Pertanian yang memiliki kuasa penuh menentukannya berdasarkan perkiraan. Sementara itu, untuk produktivitas, ada 22 ribu tenaga yang dikerahkan untuk mengeceknya. Jumlahnya sama rata antara Kementerian Pertanian dengan BPS.

“Jadi yang memperoleh data untuk produksi itu 75 persen itu Kementan, 25 persen BPS dari mantri statistik. Kemudian kedua data tersebut, data luas panen dan produktivitas, digabung menjadi satu menjadi data nasional yang merupakan data produksi padi,” tutur ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI) tersebut.

Sementara Direktur Utama Bulog, Djarot Kusumayakti mengungkapkan, stok Bulog memang sudah terlihat mulai menurun sejak Desember 2017. Hingga saat ini, posisinya terus menurun dan hanya berada di angka 700 ribu ton per 4 Februari 2017.

“Kami sudah melaporkan kepada kementerian-kementerian terkait sejak November kemarin soal stok beras ini. Ke Kemenko Pererekonomian, ke Kementerian Pertanian, juga ke Kementerian Perdagangan” tutur Djarot.

Senada, Direktur Utama PT Food Station Tjipinang Jaya Arief Prasetyo menyatakan, ketesediaan beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) tercatat terus mengalami penurunan.

Posisi stok Minggu (4/2/2018), berada pada angka 22.707 ton perhari, seperti dilansir Antara. Padahal, dalam kondisi normal rata-rata stok beras berkisar pada 25.000-30.000 ton per hari.

Kondisi penurunan stok inilah yang menjadi alasan Kementerian Perdagangan memutuskan mengimpor 500 ribu ton beras yang didatangkan dari Vietnam dan Thailand pada akhir Januari. Keputusan ini diambil sebagai upaya menutupi kebutuhan konsumsi sekitar 2,4 hingga 2,5 juta ton per bulan.

 

Kenaikan Harga Beras sampai Rokok Jadi Penyebab Inflasi Januari

Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi pada Januari 2018 sebesar 0,62 persen. Penyumbang terbesar tingginya inflasi di bulan pertama ini adalah kenaikan harga jual dari komoditas pangan, seperti harga beras, dan peningkatan harga rokok kretek.

Kepala BPS, Suhariyanto atau yang akrab disapa Kecuk mengatakan, inflasi‎ pada Januari ini sebesar 0,62 persen lebih tinggi dibanding realisasi periode bulan yang sama sebesar 0,51 persen. Namun lebih rendah dibanding capaian inflasi di Januari 2017 yang sebesar 0,97 persen.

"Penyebab utama terjadinya inflasi 0,62 persen di Januari 2018 karena harga-harga barang bergejolak yang menyumbang inflasi 0,47 persen dan harga barang yang diatur pemerintah (administered prices) 0,15 persen," ujar Kecuk saat Rilis Inflasi Januari 2018 di kantornya, Jakarta, Kamis (1/2/2018).

Dia menjelaskan, kelompok bahan makanan mencatatkan inflasi sebesar 2,34 persen dengan andil inflasi 0,48 persen di Januari 2018.

Adapun penyumbang terbesar inflasi pada kelompok ini, sambung Kecuk, adalah harga beras dengan andil inflasi 0,24 persen.

"Harga beras jadi penyumbang terbesar inflasi ini, andilnya 0,24 persen. Disusul daging ayam ras yang memberi andil inflasi 0,07 persen, ikan segar 0,05 persen, cabai rawit 0,04 persen, cabai merah 0,03 persen, serta sayur dan buah dengan andil inflasi 0,01 persen," terang Kecuk.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya