Inflasi Bakal Terkendali meski Masuk Tahun Politik

Inflasi diperkirakan mencapai 3,64 persen pada 2018. Angka ini sedikit meningkat dari 2017 sebesar 3,61 persen.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 31 Jan 2018, 20:32 WIB
Diterbitkan 31 Jan 2018, 20:32 WIB
Inflasi
Pembeli membeli sayuran di pasar, Jakarta, Jumat (6/10). Dari data BPS inflasi pada September 2017 sebesar 0,13 persen. Angka tersebut mengalami kenaikan signifikan karena sebelumnya di Agustus 2017 deflasi 0,07 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Inflasi Indonesia diperkirakan masih terkendali pada 2018 yang merupakan tahun politik. Namun, hal itu tidak bisa menjadi tolak ukur pasti karena harga minyak dunia yang bisa naik.

Chief Economist Bank Danamon Anton Hendranata menyampaikan hal pada Media Workshop bertema 'Economy Outlook 2018'.

"Inflasi terkendali karena administered price tidak naik, termasuk berarti BBM dan tarif listrik tidak naik. Akan tetapi jika oil price jauh dari asumsi APBN, who knows apa yang akan terjadi nanti?" tanya dia di Menara Bank Danamon, Jakarta, Rabu (31/1/2018).

Secara proyeksi, Anton memaparkan inflasi pada 2018 akan berada di angka 3,64 persen, sedikit meningkat dari 2017 yang berada di posisi 3,61 persen. Sementara itu, inflasi pada 2016 tercatat sebesar 3,02 persen.

Selain itu, dia juga memperkirakan sisi positif perekonomian Indonesia lainnya pada tahun ini, seperti pemulihan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang terus berlanjut dengan kebijakan moneter ketat secara gradual. Hal tersebut akan ikut menarik pertumbuhan ekonomi nasional.

"Adanya event-event penting seperti Pilkada 2018, Pileg dan Pilpres 2019, Asian Games, dan Meeting IMF-World Bank akan ikut membantu. Transmisi moneter juga akan berjalan lebih baik," tambah dia.

Tidak hanya dampak positif, beberapa sisi negatif diprediksi bisa menjangkiti ekonomi global semisal Fed Fund Rate (FFR) naik akan berdampak terhadap pengurangan aset bank sentral AS secara agresif, serta arus modal asing yang keluar secara masif.

"Lonjakan harga minyak dunia itu juga akan parah dampaknya semisal terjadi. Masalah lainnya yaitu lambatnya konsolidasi perbankan dan korporasi," ujar dia.

Di sisi lain, Anton memperkirakan Produk Domestik Bruto (PDB/GDP) Indonesia akan naik 0,19 persen dari 2017. "GDP kita tahun lalu tercatat 5,04 persen, bisa meningkat menjadi 5,27 persen pada 2018," ucap dia.

"Nilai tukar Rupiah terpantau stabil, dari sebelumnya Rp 13.548 menjadi Rp 13.575. Begitu juga Suku Bunga Acuan BI (Bank Indonesia), stagnan stay di 4,25 persen," tambah Anton.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Tahun Politik Dorong Ekonomi

20151020-Ekonomi-Nasional-Kuartal-III-2015-Jakarta
Pekerja saat membangun tiang konstruksi pembangunan gedung di Jakarta Pusat, Senin (19/10/2015). Bank Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III 2015 sebesar 4,85 persen. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan ada gelaran pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang dilaksanakan pada tahun ini mampu mendorong pertumbuhan ekonomi Nasional. Namun, memang pelaksanaan pilkada serentak tersebut lebih boros dibanding pilkada biasa.

Tjahjo menjelaskan, gelaran pilkada serentak membuat konsumsi meningkat. Peningkatan tersebut melalui pembelian atribut kampanye secara bersamaan yang diproduksi usaha kecil dan menengah. Dengan adanya produksi massal ini akan mendorong‎ pertumbuhan ekonomi.

"Harusnya dengan pilkada itu pertumbuhan daerah akan meningkat. Orang bikin kaus buat kampanye, sektor-sektor kecil itu ada pertumbuhan yang bagus. Harusnya begitu,‎" kata Tjahjo, di Kantor Bank Indonesia, Jakarta, Senin 21 Januari 2018.

Tjahjo juga menyatakan, biaya yang dikeluarkan pada pilkada serentak jauh lebih besar atau lebih boros jika dibandingkan dengan pilkada yang diselenggarakan sendiri-sendiri. Namun memang, dengan pemborosan tersebut akan mendorong pertumbuhan ekonomi

"Pilkada serentak itu justru yang kami tangkap tidak efisien, semakin tinggi biayanya dibandingkan pilkada satuan. Tapi semakin tumbuh ekonomi," tutur dia.

Tjahjo mengkui, perkiraannya dalam pilkada serentak meleset, karena ajang pesta demokrasi tersebut tidak lebih hemat, tetapi justru lebih boros.

"‎Dengan pilkada serentak karena harusnya (biaya) semakin kecil, tetapi enggak, malah semakin besar biayanya," tutup Tjahjo

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya