Baru Kesepakatan Awal, RI Belum Resmi Kuasai 51 Persen Saham Freeport

Untuk bisa mencapai kesepakatan final terkait kepemilikan 51 persen saham Freeport Indonesia masih membutuhkan proses yang lama.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 16 Jul 2018, 07:20 WIB
Diterbitkan 16 Jul 2018, 07:20 WIB
Tambang Freeport
Ilustrasi Pertambangan (Foto:Antara)

Liputan6.com, Jakarta - Penandatanganan Head of Agreement (HoA) PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum)-Freeport McMoran-Rio Tinto soal divestasi saham PT Freeport Indonesia (PTFI) yang dilakukan pada Kamis pekan lalu masih sebuah langkah awal untuk bisa menguasai Freeport Indonesia. Pemerintah masih harus melalui beberapa tahap lagi untuk benar-benar bisa memiliki tambang emas yang ada di Papua tersebut.

Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan bahwa Inalum belum resmi memegang 51 persen saham Freeport Indonesia seperti yang banyak digembar-gemborkan.

"Belum final. Kalau yang kemarin ditandatangani belum apa-apa, masih HoA. Freeport (McMoran) dan Rio Tinto kan bilangnya non-binding agreement," ujar dia seperti ditulis Liputan6.com, Senin (16/7/2018).

Untuk bisa mencapai kesepakatan final terkait kepemilikan 51 persen saham  masih membutuhkan proses yang lama lantaran banyak faktor yang harus dicermati.  "Banyak faktor yang harus dilihat, jadi kita sabar nunggu aja," imbaunya.

Proses HoA bukanlah perjanjian yang mengindikasikan telah selesainya transaksi jual beli saham Freeport Indonesia yang berarti menandakan Indonesia lewat Inalum telah sah sebagai pemegang 51 persen sahamnya.

"Masih ada sejumlah tahap, langkah berikutnya adalah negosiasi perjanjian teknis. Bukannya tidak mungkin langkah ini gagal di tengah jalan. Suatu hal yang tentu tidak diharapkan," dia mewanti-wanti.

Hal menarik lain yang perlu diperhatikan yakni adanya empat isu lain yang dikeluarkan oleh Rendi Witular selaku Head of Corporate Communications & Government Relationship Holding Industri Pertambangan Inalum. Salah satunya, adalah akan diadakannya perjanjian stabilisasi investasi.

"Isu ini sangat janggal bila ada dalam HoA, karena Inalum bukan pihak regulator yang menentukan besaran pajak dan royalti. Itu kan wewenang pemerintah," ungkap dia.

"Sehingga tidak seharusnya isu besaran pajak dan royalti diatur dalam HoA. Tidak mungkin Inalum memerintahkan pemerintah," tegasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Jokowi Tuai Pujian Dunia

Saham PT Freeport
CEO PT Freeport Richard Adkerson dan Dirut Inalum Budi Gunadi Sadikin disaksikan Menkeu, Menteri ESDM, Menteri BUMN dan Menteri LHK menandatangani pengambilalihan saham 51% PT Freeport Indonesia di Jakarta, Kamis (12/7). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Indonesia sedang disorot dunia. Kali ini berkat langkah serius yang diambil Pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk menguasai 51 persen saham Freeport.  

Media Singapura The Straits Times menyebut penandatangan saham Freeport yang dilakukan Indonesia sebagai 'kesepakatan monumental' (landmark deal).

"Kesepakatan monumental ini akan terlihat sebagai langkah dari administrasi Presiden Jokowi untuk menegaskan hak atas sumber daya alam negaranya," tulis The Straits Times.

Media Nikken Asia Review dari Jepang turut membahas tekad yang dimiliki Presiden Jokowi dalam urusan Freeport. 

"Widodo telah bertekad untuk membawa apa yang dipandang sebagai sumber daya nasional strategis menuju kendali negara selama beberapa dekade ada di tangan penambang AS."

Wall Street Journal menyoroti kebangkitan nasionalisme sumber daya (resource nationalism) yang terjadi di Indonesia.

"Perjanjian ini terjadi setelah adanya Undang-undang baru untuk penambang di Indonesia sejak 2009 sebagaimana nasionalisme sumber daya makin intensif dan Jakarta (Pemerintahan Indonesia) berusaha mengisi tabungannya dan membangun BUMN yang bersaing secara global," jelas Wall Street Journal.   

Butuh 26 tahun sampai akhirnya Indonesia menguasai 51 persen saham Freeport . Sebelumnya Presiden Soekarno mewajibkan 60 persen, tetapi ditolak Freeport. Sampai akhirnya, Freeport berjaya di era Orde Baru.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya