Kuasai Freeport, Kenapa RI Harus Bayar US$ 3,85 Miliar?

Apakah benar setelah kontrak Freeport habis 2021, pemerintah tidak perlu membayar untuk menguasai tambang Grasberg di Mimika, Papua?

oleh Nurseffi Dwi Wahyuni diperbarui 15 Jul 2018, 12:17 WIB
Diterbitkan 15 Jul 2018, 12:17 WIB
banner penjualan saham Freeport
banner penjualan saham Freeport (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) dan  McMoran Inc telah meneken pokok-pokok kesepakatan divestasi atau Head of Agreement (HoA) saham PT Freeport Indonesia (PTFI). Dalam kesepakatan ini Inalum akan menguasai 41,64 persen PT Freeport Indonesia. Langkah ini untuk menggenapi 51 persen kepemilikan saham oleh pihak nasional.

Proses yang akan dilakukan, Inalum mengeluarkan dana sebesar USD 3,85 miliar untuk membeli hak partisipasi dari Rio Tinto di Freeport Indonesia dan 100 persen saham Freeport McMoran di PT Indocopper Investama, yang memiliki 9,36 persen saham di Freport Indonesia.

Ada banyak isu dan komentar menyusul penandatanganan HoA tersebut. Salah satu isu yang paling banyak dipertanyakan publik yaitu mengenai mengapa pemerintah tidak menunggu kontrak Freeport habis 2021 sehingga untuk menguasai tambang Grasberg di Mimika, Papua, Inalum tidak perlu merogoh kocek atau gratis.

Lalu apakah benar setelah kontrak Freeport habis 2021, pemerintah tidak perlu membayar untuk menguasai tambang emas terbesar di dunia tersebut?

Head of Corporate Communication and Goverment Relation Inalum Rendy Witoelar angkat bicara untuk menjawab pertanyaan publik tersebut. Menurut dia, Freeport Indonesia mempunyai interpretasi KK yang berbeda dengan pemerintah. PTFI mengakui kalau KK akan berakhir pada 2021, namun mereka beranggapan berhak mengajukan perpanjangan dua kali 10 tahun dan pemerintah tidak akan menahan atau menunda persetujuan tersebut secara tidak wajar.

Pasal 31 ayat 2 KK: Sesuai dengan ketentuan-ketentuan yg tercantum, persetujuan ini akan mempunyai jangka waktu 30 tahun sejak tanggal penandatanganan persetujuan ini dengan ketentuan bahwa perusahaan akan diberi hak untuk memohon dua kali perpanjangan masing-masing 10 tahun atas jangka waktu tersebut secara berturut- turut, dengan syarat disetujui pemerintah. Pemerintan tidak akan menahan atau menunda persetujuan tersebut secara tidak wajar. 

Permohonan tersebut dari perusahaan dapat diajukan setiap saat selama jangka waktu persetujuan ini, termasuk setiap perpanjangan sebelumnya.

Rendy menjelaskan, berakhir atau tidaknya pada 2011 akan tetap menjadi perdebatan karena FCX menafsirkan harus adanya perpanjangan KK hingga 2041. Perdebatan ini akan berpotensi berakhir di arbitrase dan tidak ada jaminan 100 persen Indonesia akan menang.

"Jika pun FCX legowo hengkang setelah 2021, kita tidak akan mendapatkan Grasberg secara gratis," tegas dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Minggu (15/7/2018).

Jadi mau diambilalih sekarang atau menunggu kontrak habis, pemerintah tetap harus membayar ke Freeport jika ingin menguasai tambang emas terbesar di dunia tersebut.

Hal ini berdasarkan KK Pasal 22 ayat 1: Sesudah pengakhiran persetujuan berdasarkan pasal 22 ini atau pengakhiran persetujuan ini karena alasan berakhirnya jangka waktu persetujuan ini, semua kekayaan kontrak karya milik perusahaan yang bergerak atau tidak bergerak, yang terdapat di wilayah-wilayah proyek dan pertambangan harus ditawarkan untuk dijual kepada pemerintah dengan harga atau nilai pasar, yang mana yang lebih rendah, tetapi tidak lebih rendah dari nilai buku.

"Jadi pemerintah harus membeli seluruh kekayaan Freeport Indonesia yang bergerak maupun dengan nilai tidak lebih rendah dari book value. Nilai buku PTFI berdasarkan laporan keuangan audited mereka ada di sekitar US$ 6 miliar. Pemerintah pun wajib membeli pembangkit listrik yang di area tersebut senilai lebih dari Rp 2 triliun," jelasnya.

 

Kenapa Tidak ke Arbitrasi?

Saham PT Freeport
CEO PT Freeport Richard Adkerson dan Dirut Inalum Budi Gunadi Sadikin disaksikan Menkeu, Menteri ESDM, Menteri BUMN dan Menteri LHK menandatangani pengambilalihan saham 51% PT Freeport Indonesia di Jakarta, Kamis (12/7). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Rendy menuturkan langkah abitrase tidak diambil karena tidak ada jaminan 100 persen bahwa Indonesia akan menang karena nuansa kalimat “menahan atau menunda persetujuan tersebut secara tidak wajar” dalam bahasa Inggris “unreasonably withheld” mempunyai penegasan tidak boleh menahan untuk tidak memperpanjang KK.

Tak hanya itu, jika Indonesia tidak memperpanjang operasi PTFI, dikhawatirkan PTFI akan berhenti melakukan penambangan block caving yang dapat mengakibatkan longsor atau penutupan lorong-lorong tambang secara permanen.

Jika ini terjadi pemerintah harus mengeluarkan biaya mahal untuk pemulihan operasional tambang. Metode block caving yang sedang dioperasikan saat ini di Grasberg adalah yang terumit dan tersulit di dunia.

"Dampak sosio-ekonomi akibat dari berhentinya operasi PTFI akan sangat besar terhadap Papua di mana 45 persen GDP provinsi dan 90 persen GDP Kabupaten Mimika bersumber dari operasional PTFI,"terang dia.

Lebih Murah

Infografis penjualan saham Freeport
Infografis penjualan saham Freeport (Liputan6.com/Abdillah)

Rendy menambahkan, di bawah rezim KK, menunggu sampai kontrak berakhir tahun 2021 dan tidak memperpanjangnya, selain lebih mahal juga menempatkan kedua pihak dalam situasi lose-lose solution dan memburamkan iklim investasi nasional.

"Inilah jalan alot yang ditempuh Tim Perunding Pemerintah untuk mngimplementasikan arahan Presiden, bahwa kedua pihak harus mndapatkan win-win solution dan iklim investasi nasional tetap kondusif," ujarnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya