Liputan6.com, Jakarta Pemerintah akan kembali menaikkan tarif cukai hasil tembakau yang berlaku. Kenaikan tersebut akan berlaku pada 2019 mendatang.
Direktur Jenderal Bea Cuka Kementerian Keuangan Heru Pambudi mengatakan, berdasarkan peraturan, kenaikan akan dilakukan pada kuartal III akhir atau kuartal IV.
"Biasanya kita itu secara historisnya kuartal III akhir atau kuartal IV awal," kata Dirjen Heru saat ditemui di Gedung DPR RI, Senin (23/7/2018).
Advertisement
Saat ini Direktorat Jenderal Bea Cukai sudah melakukan komunikasi dengam semua pihak terkait mengenai rencana kenaikan tarif cukai tersebut. Pihak tersebut antara lain industri rokok, petani hingga pihak yang berkaitan dengan kesehatan.
Baca Juga
Heru mengaku belum tahu kapan kenaikan cukai rokok tersebut akan diputuskan, namun dia berharap akan selesai secepatnya.
"Semakin cepat semakin bagus memang. Supaya memberikan kesempatan ke semua pihak yang konsen-konsen tadi untuk melihat dan menyesuaikan," ujarnya.
Saat ini besaran kenaikan tarif cukai belum ditentukan. Adapun besaran kenaikan tersebut akan mempertimbangkan beberapa faktor.
"Yang jelas memperhatikan pertumbuhan sama inflasi dan juga beberapa faktor yang lain. Faktor yang mempengaruhi itu, pertama adalah kesehatan, kedua penerimaan, ketiga industri, keempat petani, kelima pengaruhnya tarif terhadap peredaran rokok yang ilegal." kata dia. Â
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Harga Rokok RI Lebih Mahal Dibandingkan Negara Kawasan Asia
 Harga rokok di Indonesia dinilai masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia. Faktor daya beli masyarakat dalam lima tahun terakhir ini menjadi acuannya.
Ini seperti diungkapkan Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo yang mengakui jika harga rokok di Indonesia memang sangat tinggi.
Dia membandingkan dengan negara-negara seperti Jepang, Korea, Tiongkok, Hong Kong, Australia, Singapura, Malaysia, Myanmar, dan Vietnam.
Â
BACA JUGA
Penilaian tersebut berdasarkan indeks keterjangkauan yang diukur melalui rasio Price Relative to Income (PRI), yakni rasio yang memperhitungkan faktor daya beli ke dalam analisa keterjangkauan harga.
"Kalau dibandingkan dengan harga dan hitung daya beli, harga rokok Indonesia relatif mahal dibandingkan negara-negara lainnya,"Â ujar dia, Jumat (20/7/2018)
Sebab itu, menurut Yustinus, industri rokok nasional akan terpuruk jika harganya kembali naik. "Industri Hasil Tembakau saat ini sudah memasuki sunset industry. Ini akan berdampak dari hulu ke hilir, mulai dari petani, buruh, sampai pengasong. Ini harus dipikirkan," ucap dia.
Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan juga mengatakan harga rokok di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia. Faktor daya beli masyarakat dalam lima tahun terakhir ini menjadi acuannya.
"Kalau secara nominal absolut memang benar. Tapi kalau mempertimbangkan daya beli, rokok di Indonesia sudah mahal," kata kata Kepala Sub Direktorat Komunikasi dan Publikasi Ditjen Bea Cukai Deni Surjantoro beberapa waktu lalu.
Deni menjelaskan pemerintah tidak akan gegabah menaikkan harga rokok. Dampak negatifnya akan berimbas terhadap kelangsungan industri. "Jika lebih dari titik kulminasinya, kenaikan seberapa pun justru menurunkan. Kami selalu berhati-hati agar kebijakan tetap optimum," tutur dia.
Direktur Jenderal Bea Cukai, Heru Pambudi, sebelumya menyatakan harga jual sebatang rokok di Indonesia merupakan yang tertinggi setelah dibandingkan dengan pendapatan per kapita per hari masyarakat.
"Secara nominal harga rokok di Indonesia memang relatif lebih rendah daripada Singapura atau negara maju lain. Tapi kalau kita bandingkan secara relatif terhadap pendapatan per kapita per hari, sebenarnya harga jual satu batang rokok kita termasuk yang tertinggi," ucapnya.
Advertisement