Liputan6.com, Jakarta - Kuasa Hukum Sjamsul Nursalim, Otto Hasibuan, mempertanyakan kesimpulan mispresentasi terhadap klien-nya yang diajukan KPK terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL). Hal itu terkait masalah penyelesaian kewajiban BLBI oleh Sjamsul Nursalim.
Dia menuturkan, masalah penyelesaian kewajiban Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) oleh Sjamsul telah tuntas jauh sebelum KPK terbentuk.
Dia mengatakan, penyelesaian BLBI sudah selesai sejak 20 tahun silam, ditandai dengan penandatanganan Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) antara pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan Sjamsul.
Advertisement
Baca Juga
"Kalau suatu perusahaan dikatakan misrepesentasi ke pemerintah, berarti ke pihak yang dijanjikan yakni BPPN. Bukan KPK atau kepolisian. Pemerintah melalui BPPN belum pernah menuntut persoalan ini, tapi penegak hukum mengatakan kurang," urai dia di Le Meridien Hotel, Jakarta, Rabu (25/7/2018).
Adapun dugaan kerugian negara akibat kasus ini diperkirakan mencapai Rp 4,58 triliun. Angka tersebut berdasarkan perhitungan pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004 sebanyak Rp 4,8 triliun.
Nominal itu mencakup Rp 1,1 triliun yang berupa piutang PT Dipasena Citra Dermaja kepada petani tambak. Nilai tersebut kemudian berkurang Rp 220 miliar yang dilelang oleh Pusat Pemulihan Aset (PPA), sehingga total klaim kerugian negara yang diajukan bernilai Rp 4,58 triliun.
Otto lanjut mempertanyakan, apakah persoalan misrepresentasi ini dapat berujung jadi pidana. Jika hal ini dibiarkan berlanjut, ia berpendapat, perkara hukum semisal Tax Amnesty pada 20 tahun mendatang pun dapat kembali dipermasalahkan ketika orde pemerintahan RI telah berganti.
"Kalau KPK bilang independen, KPK itu siapa? KPK itu pemerintah. KPK belum lahir pada waktu kasus ini terjadi. Orang belum lahir menyatakan bahwa kasus ini salah, bagaimana ini? How come?," Keluh Otto.
Â
Pengacara Paparkan Sjamsul Salim Terbelit Bantuan Likuiditas
Otto Hasibuan selaku Kuasa Hukum dari Sjamsul Nursalim mempertanyakan perkara yang kini membelit klien-nya terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).
Dalam kasus ini, Sjamsul berposisi sebagai pemegang saham pengendali BDNI. Dia menuturkan, tudingan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2017 lalu yang menyatakan ada kerugian negara akibat penerbitan SKL kepada BDNI kontradiktif dengan proses awal penerbitan surat tersebut.
"Setelah 20 tahun kemudian, BPK pada 2017 mengeluarkan hasil audit baru, yang mengatakan ada kerugian negara akibat pemberian SKL. Bagiamana ini bisa terjadi? Kalau kita punya hutang sudah diteken terus diproses lagi, bagaimana? Itu sebabnya saya katakan kalau tidak ada kepastian hukum," keluhnya di Le Meridien Hotel, Jakarta, Rabu 25 Juli 2018.
Seperti diketahui, SKL ini diterbitkan pada 2004 berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.
Lebih lanjut, Otto pun menceritakan awal mula BDNI bisa terbebani BLBI sejak 1998. Dia memaparkan, pada kurun waktu 1997-1998 terjadi krisis multidimensi di Tanah Air yang menaikkan nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, dari 3.800 jadi 17 ribu.
"Bunga bank pada saat itu juga hampir 80 persen, bahkan ada yang sampai 200 persen dalam satu hari. Bank manapun pasti hancur karena ini," ujar dia.
"Makanya pemerintah kemudian membuat kebijakan dengan memberi bantuan likuiditas (BLBI) agar bank jadi likuid, bisa bayar hutang," ia menambahkan.
Pemerintah RI melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) di masa itu kemudian mengambil langkah dengan take over 48 bank yang keuangannya goyang, termasuk BDNI pada 4 April 1998.Â
Dia melanjutkan, pemerintah secara sepihak lalu menghitung jumlah piutang bank yang dinyatakan sebesar Rp 42 triliun. "Setelah itu dihitung berapa harta bank yang ada, maka setelah dipotong tinggal Rp 27,8 triliun," kata dia.
Menanggapi nominal uang yang tidak sedikit tersebut, sambungnya, Sjamsul kemudian menyerahkan harta pribadinya sebesar Rp 1 triliun sebagai biaya tanggungan. "Pada 25 Mei 1998, dilakukan closing setelah segala persyaratan harta diselesaikan. Diberikan Release and Discharge, yang mengklaim utang sudah selesai," kata dia.
Otto menyampaikan, berbagai proses hukum pun terus dilalui oleh klien-nya sampai kemudian badan hukum Ernst & Young memberikan laporan Financial Due Dilligence (FDD) yang menyatakan utang Sjamsul lunas dan dikeluarkan SKL.
"Bagi Sjamsul padahal enggak perlu SKL, karena sudah ada Release and Discharge. Selesai. Tapi mungkin suasananya waktu itu biar pasti makanya dikeluarkan SKL," tutur Otto.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Â
Advertisement