Morgan Stanley: RI Mampu Kelola Dampak Kenaikan Suku Bunga

Morgan Stanley melihat Indonesia perlu ambil langkah struktural untuk hadapi tekanan eksternal.

oleh Agustina Melani diperbarui 20 Agu 2018, 18:40 WIB
Diterbitkan 20 Agu 2018, 18:40 WIB
2018, Menko Perekonomian Patok Pertumbuhan Ekonomi Harus 5,4 Persen
Pemandangan gedung bertingkat di Jakarta, Sabtu (28/4). Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, pertumbuhan ekonomi wajib meningkat hingga 6 persen lebih mulai 2019. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Ekonomi Indonesia merupakan salah satu yang paling merasakan tekanan untuk dapatkan pendanaan eksternal di Asia.

Namun, kenaikan suku bunga yang agresif bisa ditahan karena misalokasi sumber daya terhindarkan. Langkah-langkah struktural perlu diambil untuk mendukung pertumbuhan dan menjaga tingkat ketidakseimbangan eksternal.

Hal itu disampaikan Ekonom Morgan Stanley Deyi Tan dan Zac Su dalam laporannya berjudul Going Back to Fundamentals amid EM Volatility yang dirilis pada Senin (20/8/2018).

Dari laporan tersebut ada sejumlah hal yang menjadi sorotan. Pertama, perkembangan di Turki dan dolar Amerika Serikat yang terus menguat telah sebabkan efek spillover di pasar saham.

Gejolak volatilitas modal ini memicu pertanyaan seputar seberapa jauh Indonesia terdampak serta akibatnya pada kebijakan dan prospek pertumbuhan.

Morgan Stanley mengkaji ulang fundamental makro, melihat apa dampak dari fokus stabilitas makro pada prospek pertumbuhan dan menjabarkan apa pelajaran yang bisa diambil dari volatilitas pasar saham tersebut.

Ekonomi makro dan perkembangan geopolitik di Turki di tengah dolar Amerika Serikat (AS) yang menguat telah berdampak terhadap ekonomi negara berkembang lainnya seiring volatilitas modal yang meningkat.

Di luar mata uang Turki Lira, mata uang Amerika Latin dan CEEMEA terdepresiasi pada tingkat yang relatif tajam.Ini karena saling berhubungan.

Di Asia,negara yang alami defisit transaksi berjalan antara lain Filipina, Indonesia dan India tidak mengejutkan alami tekanan di pasar keuangan.

Secara perspektif, mata uang Asia alami tekanan lebih rendah dibandingkan negara berkembang lainnya.

Meski demikian, volatilitas tersebut menambah pertanyaan bagaimana ekonomi Asia, salah satunya Indonesia berada dalam lingkungan pendanaan lebih sulit dan konsekuensi dari kebijakan dan prospek pertumbuhan ekonomi.

Indonesia bukukan defisit transaksi berjalan 3,1 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada kuartal II 2018. Kemudian defisit perdagangan pada Juli 2018 mencapai 2,3 persen terhadap PDB.

Untuk mengatasi defisit tersebut, Pemerintah Indonesia umumkan untuk kurangi impor. Kemudian berlakukan tarif impor 7,5 persen atas 500 barang konsumsi termasuk yang dibeli secara online.

Selain itu, pemerintah meminta BUMN meninjau komponen yang diimpor dan menunda proyek infrastruktur. Pemerintah juga memperluas penerapan biodiesel 20 persen.

Bank Indonesia (BI) juga menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) usai gelar pertemuan pada 14-15 Agustus 2018. BI menaikkan suku bunga acuan 125 basis poin sejak Mei 2018.

Kedua, Morgan Stanley juga soroti Indonesia, India dan Filipina lebih terpapar risiko pendanaan di Asia. Ini dilihat dari defisit neraca berjalan negara tersebut.

Kesenjangan pendanaan eksternal akibatkan likuiditas perekonomian menjadi lebih ketat selama periode volatilitas modal.

Hal ini sebabkan tekanan depresiasi pada  mata uang negara itu. Di Asia, mata uang dari beberapa negara ini jauh lebih tertekan.

"Kami telah melihat perombakan di Asia yang terpapar tekanan pendanaan eksternal selama beberapa tahun terakhir," ujar Deyi Tan.

Selama tantangan mendapatkan pendanaan kembali pada 2013, ekonomi India, Indonesia dan Thailand menjadi lebih terbuka. Hal ini seiring defisit yang terjadi, memiliki inflasi relatif lebih tinggi sehingga tingkat bunga riil tertekan.

Dalam kasus tertentu seperti Thailand yang bergantung pada utang mendorong pertumbuhan. "Kombinasi respons kebijakan dan penyeimbangan makro berarti indikator stabilitas makro sebagian besar sudah lebih baik dibandingkan sebelumnya," tulis Deyi Tan.

Namun, beberapa negara lain yaitu Filipina dan Malaysia terlihat indikator stabilitas makro yang melemah. Neraca pembayaran memburuk. Bahkan Filipina alami defisit. Selain itu, cadangan devisa juga melemah di Filipina dan Malaysia.

"Saat ini India, Indonesia dan Filipina lebih rentan terhadap risiko pendanaan mengingat defisit neraca transaksi berjalan," tulis Deyi Tan.

 

 

* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.

 

Tidak Ada Misalokasi Sumber Daya di Indonesia Kurangi Tekanan

2018, Menko Perekonomian Patok Pertumbuhan Ekonomi Harus 5,4 Persen
Pemandangan proyek pembangunan gedung di Jakarta, Sabtu (28/4). Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, pertumbuhan ekonomi wajib meningkat hingga 6 persen lebih mulai 2019. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Ketiga, tidak adanya misalokasi sumber daya internal di Indonesia mengurangi beberapa tekanan.

Tantangan pendanaan eksternal akan semakin parah jika terjadi kesalahan alokasi sumber daya internal (kebijakan longgar, penumpukan utang yang signifikan, dan inflasi).

Kondisi ini juga akan memicu tekanan untuk memperketat kebijakan yang akan hambat pertumbuhan lebih lanjut.

Namun, Indonesia berbeda dengan ekonomi lain di Turki, Afrika Selatan, dan Argentina yang menunjukkan tanda-tanda adanya kesalahan alokasi sumber daya dan kerenggangan indikator stabilitas makro. Ini tentu mencegah terjadinya kenaikan suku bunga yang agresif.

"Kebijakan moneter dan fiskal belum longgar. Tingkat kebijakan suku bunga riil relatif tinggi dibandingkan Amerika Serikat. Kebijakan fiskal pun konservatif dengan berdasarkan aturan defisit fiskal maksimal tiga persen dari produk domestik bruto," ujar Deyi Tan.

Akibatnya tidak ada penumpukan utang baik di sektor swasta dan pemerintah. Inflasi pun berada di dalam target Bank Indonesia tiga persen plus minus satu persen.

Morgan Stanley juga melihat dampak dari pengetatan suku bunga lebih baik pengelolaannya. Akan tetapi, berisiko turun.

Di tengah volatilitas modal, stabilitas makro memang lebih diutamakan dalam pembuatan kebijakan.

"Kami pikir dampak kenaikan suku bunga masih dapat dikendalikan karena suku bunga pinjaman tidak mungkin naik ke level yang sama. Ekonomi pun memiliki kemampuan untuk menyerap kenaikan suku bunga," tulis Morgan Stanley.

Langkah-langkah struktural yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan dan menjaga ketidak seimbangan antara lain dalam jangka pendek, kenaikan suku bunga akan menawarkan beberapa pertahanan kebijakan terhadap volatilitas modal.

Namun, dalam jangka panjang, langkah-langkah struktural untuk meningkatkan daya saing di non komoditas diperlukan bagi Indonesia untuk mencapai tingkat pertumbuhan berkelanjutan lebih tinggi. Pada saat yang sama juga menjaga ketidakseimbangan eksternalnya.

"Kami ulangi pandangan kami hanya ini dapat terjadi melalui reformasi struktural 2.0 untuk ditingkatkan daya saing di sektor non komoditas melalui langkah-langkah dengan meningkatkan infrastruktur, perbaiki lingkungan bisnis," ujar Deyi Tan.

Ia menambahkan, Indonesia juga perlu angkat produktivitas pasar tenaga kerja melalui kebijakan pendidikan, pasar tenaga kerja, menjaga upah sesuai tren produktivitas.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya