Liputan6.com, Jakarta Analis Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta menyoroti IHSG yang turun sementara pada Selasa (18/3/2025) lalu dan kini sudah beranjak naik kembali. Menurutnya ini adalah momentum sementara dan ekonomi Indonesia mampu tumbuh positif.
Nafan menyebut faktor turunnya IHSG terjadi karena berbagai dinamika. Misalnya terkait agenda ekonomi Presiden AS Donald Trump dan penantian terkait suku bunga BI dan kebijakan promarket dari pemerintah.
Advertisement
Baca Juga
“Mudah-mudahan saja Danantara bisa mampu meningkatkan kinerja investasi. Karena ini akan menjadi motor pertumbuhan ekonomi Indonesia yang baru,” katanya dikutip Kamis (20/3/2025).
Advertisement
Nafan menyampaikan, pertumbuhan ekonomi Indonesia digerakkan oleh household consumption atau konsumsi rumah tangga. Akan tetapi, pemerintah harus menggerakkan investasi agar pertumbuhan ekonomi rata-rata tidak berhenti di angka 5%.
“Tapi memang untuk kedepannya kalau kita tidak ingin stuck di level 5% tentunya investment juga harus ditumbuhkan. Sebagai bagian dari GDP seperti itu,” ucap Nafan.
Sementara itu, Nafan juga menilai bahwa sepinya pasar saham tidak terlepas dari faktor menjelang Hari Raya Idul Fitri.
“Tapi nanti di pasca bulan suci Ramadan nanti market juga akan kembali menunjukkan aktifitas,” ungkapnya.
IHSG Anjlok, Apa Dampaknya ke Pasar Valas dan Obligasi?
Sebelumnya, Kepala Strategi Makro Asia Pasifik Bank of New York (BNY) Aninda Mitra menilai pelemahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sempat terjadi pada Selasa (18/3) tidak akan merambat jauh ke pasar valuta asing (valas) serta obligasi, mengingat pasokan dolar AS yang melimpah serta kepemilikan asing atas surat utang pemerintah masih rendah.
“Saya tidak akan mengesampingkan tekanan yang moderat, tetapi masih diragukan apakah ini pasti akan menyebar lebih luas ke valuta asing dan obligasi,” ungkap Aninda dikutip dari Antara, Rabu (19/3/2025).
Aninda menjelaskan, kerentanan Indonesia yang lebih luas terhadap pembalikan cepat modal asing tampak lebih rendah daripada sebelumnya.
Pertumbuhan yang melambat ditambah dengan peraturan yang lebih ketat tentang devisa hasil ekspor akan memastikan likuiditas dolar yang cukup di dalam negeri sehingga rupiah bisa lebih stabil.
Kepemilikan asing atas obligasi rupiah tetap rendah, sekitar 15 persen dari total keseluruhan.
“Angka tersebut jauh di bawah puncak prapandemi yang mencapai hampir 40 persen. Sebagian besar kepemilikan ini mungkin juga dilindungi nilai valuta asing,” terangnya.
Adapun pada penutupan perdagangan sesi I, Selasa kemarin (18/3), IHSG tercatat sempat ditutup melemah 395,87 poin atau 6,12 persen ke posisi 6.076,08.
Sementara itu, indeks LQ45 tercatat turun 38,27 poin atau 5,25 persen ke posisi 691,08.
Imbas dari pelemahan tersebut, PT Bursa Efek Indonesia (BEI) melakukan pembekuan sementara perdagangan (trading halt) sistem perdagangan pada pukul 11:19:31 waktu Jakarta Automated Trading System (JATS).
Pembekuan perdagangan dipicu oleh penurunan IHSG yang mencapai lebih dari 5 persen.
Advertisement
IHSG Anjlok! Trading Halt dan Aksi Jual Besar-Besaran Guncang Pasar
Pasar saham Indonesia mengalami guncangan hebat. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 3,84% ke level 6.223 dan bahkan sempat terkena trading halt setelah menyentuh level kritis 6.011 (7,11%). Kejatuhan ini terjadi di tengah penguatan bursa regional, mengindikasikan bahwa faktor domestik menjadi pemicu utama kepanikan di pasar.
Menurut pengamat pasar modal, Hendra, tekanan besar ini lebih dipicu oleh ketidakpastian kebijakan dan sentimen negatif dibandingkan kondisi fundamental ekonomi yang sebenarnya.
“Pasar saat ini sangat rentan terhadap sentimen negatif, terutama isu-isu seperti RUU TNI yang kontroversial, rumor pengunduran diri Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan, serta aksi jual brutal pada saham-saham konglomerasi seperti BREN (-11,8%), TPIA (-18,4%), dan DCII (-20%),” ungkap Pengamat Pasar Modal sekaligus Founder Stocknow.id, Hendra Wardhana kepada Liputan6.com, Rabu (19/3/2025).
Aksi jual asing juga sangat masif dengan net sell mencapai Rp 2,5 triliun dalam sehari, terutama di saham BBCA, BMRI, dan BBRI, sementara beberapa saham seperti GOTO dan WIFI masih mencatatkan net buy. Dari faktor eksternal, ketidakpastian kebijakan The Fed dan pelemahan rupiah ke Rp 16.425 per USD semakin menekan pasar domestik.
