Angkat Rupiah, Indef Minta Pejabat dan Bos BUMN Tak Simpan Dolar AS

Untuk mengangkat rupiah, BI masih tetap harus menguras cadangan devisa.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 09 Sep 2018, 20:30 WIB
Diterbitkan 09 Sep 2018, 20:30 WIB
Ilustrasi dolar AS
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus menguat, Jakarta, Kamis (23/10/2014) (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov menilai pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang beberapa hari lalu sempat menyentuh angka Rp 15.000 merupakan sebuah pertanda buruk.

Meskipun rupiah telah sedikit membaik, ia menyatakan, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) harus mampu menjaga kepercayaan pasar bahwa upaya penyelamatan rupiah dilakukan secara struktural dan berdimensi jangka panjang.

"Selain mengancam para spekulan valas, pemerintah mestinya juga memberi contoh dengan mendorong para pejabat dan BUMN untuk menukarkan sebagian aset dolar ke rupiah. Jadi tidak hanya mendesak eksportir untuk menukarkan Devisa Hasil Ekspor (DHE) ke rupiah," tutur dia kepada Liputan6.com, seperti dikutip Minggu (9/9/2018).

Sebab menurutnya, usulan penukaran rupiah tersebut penting guna menciptakan stabilitas psikologis masyarakat. "Hal yang paling dikhawatirkan ialah kalau sampai gejolak rupiah saat ini menciptakan sentimen negatif yang semakin membesar menjadi kecemasan massal," paparnya.

Selain itu, ia menambahkan, aneka upaya memperbaiki defisit transaksi berjalan juga mesti disampaikan secara baik kepada investor. Abra berpesan, jangan sampai rencana kenaikan Pajak Penghasilan (PPh) barang impor dibaca sebagai bentuk proteksi yang berlebihan, sehingga justru memantik tindakan balasan dari para mitra dagang.

Abra pun menilai, kenaikan BI-7DRR sepanjang tahun ini tidak terlalu efektif meredam gejolak pelemahan rupiah. Bahkan, lanjutnya, BI masih tetap harus menguras cadangan devisa yang demikian besar, yakni USD 13,69 miliar.

Dalam kondisi saat ini, dia menyatakan, Otoritas Moneter wajib mengirimkan sinyal bahwa BI akan mendukung target pertumbuhan ekonomi dengan cara mendorong penyaluran kredit perbankan di sektor riil, yakni dengan menjaga tingkat suku bunga kredit.

"Dengan begitu, itu akan tetap mempertahankan daya saing produk ekspor Indonesia. Peningkatan ekspor ini akan membantu memperkecil defisit transaksi berjalan," ujar dia.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya