OJK Sebut Industri Keuangan Masih Mampu Hadapi Risiko Pelemahan Rupiah

Ketahanan industri keuangan, khususnya perbankan dapat terlihat dari sejumlah indikator kesehatan industri keuangan yang masih terjaga.

oleh Merdeka.com diperbarui 10 Sep 2018, 17:52 WIB
Diterbitkan 10 Sep 2018, 17:52 WIB
20151104-OJK
Petugas saat bertugas di Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jakarta. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan industri keuangan, khususnya perbankan di Indonesia masih mampu memitigasi dampak negatif dari risiko pergerakan nilai tukar rupiah.

Juru Bicara OJK, Sekar Putih Djarot, mengatakan ketahanan industri keuangan, khususnya perbankan dapat terlihat dari sejumlah indikator kesehatan industri keuangan yang masih terjaga.

"Rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) perbankan masih terkendali di 2,73 persen (gross), Dana Pihak Ketiga (DPK) bertumbuh 6,8 persen (year on year/yoy) dan pertumbuhan kredit mencapai 11 persen (yoy)," kata dia dalam diskusi 'Bersatu untuk Rupiah', di Jakarta, Senin (10/9/2018).

Selain itu, kata dia, rasio kecukupan modal bank (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan, masih kuat. CAR perbankan pada awal September 2018 masih sebesar 22 persen. Meskipun demikian, regulator tetap waspada terhadap meningkatnya risiko ekonomi eksternal

"Di tengah volatilitas pasar keuangan, profil risiko di industri keuangan masih managable (dapat dikendalikan). CAR Perbankan juga masih kuat," kata dia.

Menurut dia, pemerintah, Bank Indonesia dan OJK masih berhasil mengatasi dampak dari pengetatan likuiditas perekonomian global. Belum ada tendensi pengetatan likuiditas di pasar domestik.

OJK juga mengapresiasi BI yang melakukan intervensi pasar dalam beberapa waktu terakhir. Pihaknya akan membantu pemerintah dan BI untuk menurunkan defisit transaksi berjalan.

Langkah yang diambil OJK adalah dengan memberikan insentif makroprudensial kepada perbankan yang berkontribusi menumbuhkan industri berorientasi ekspor. Kemudian, OJK juga mendorong Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia dengan fasilitas pembiayaan ekspor.

"Dalam kebijakan kami, kami berikan insentif bagi perbankan, misalnya melalui relaksasi ATMR (Aset Tertimbang Menurut Risiko) untuk yang membantu meningkatkan ekspor domestik. Kami juga dorong LPEI untuk penyediaan fasilitas ekspor," tandas dia.

 

Reporter: Wilfridus Setu Umbu

Sumber: Merdeka.com

Rupiah Melemah Imbas Faktor Global

Pelemahan Rupiah terhadap Dolar AS
Petugas memperlihatkan uang pecahan dolar Amerika di salah satu gerai penukaran mata uang di Jakarta, Jumat (18/5). Pagi ini, nilai tukar rupiah melemah hingga sempat menyentuh ke Rp 14.130 per dolar Amerika Serikat (AS). (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Nilai tukar rupiah cenderung melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada semester II 2018. Tekanan terhadap rupiah didorong sentimen eksternal dan internal.

Rupiah melemah 9,52 persen dari 2 Januari 2018 di posisi 13.542 per dolar Amerika Serikat (AS) ke posisi 14.835 per dolar AS pada Senin 10 September 2018. Hal itu berdasarkan patokan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor).

Nilai tukar rupiah bahkan sempat sentuh level terendah di posisi 14.927 per dolar AS pada 5 September 2018. Bila melihat kurs tengah BI, rupiah merosot terjadi sejak Mei 2018. Rupiah pertama kali sentuh posisi kisaran 14.000 pada 9 Mei 2018 di posisi 14.074.

Sebelumnya, Head of Indonesia Equity Research Citigroup Securities Indonesia, Ferry Wong menuturkan, nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat dipengaruhi faktor global terutama Argentina. Krisis ekonomi Argentina mempengaruhi negara berkembang. Akan tetapi, kondisi ekonomi Indonesia lebih baik ketimbang Argentina.

Salah satunya dilihat dari defisit neraca transaksi berjalan. Argentina alami defisit 4,8 persen. Sedangkan data Bank Indonesia (BI) menunjukkan defisit transaksi berjalan pada kuartal II 2018 tercatat USD 8 miliar.  Angka ini lebih tinggi dibandingkan defisit kuartal sebelumnya USD 5,7 miliar atau 2,21 persen dari PDB. Hingga semester I 2018, defisit transaksi berjalan baru mencapai 2,6 persen dari PDB.

Meski demikian, Ferry menambahkan, defisit transaksi berjalan Indonesia yang capai tiga persen terhadap PDB pada akhir kuartal II 2018 menekan rupiah. Ferry memperkirakan rupiah masih akan tertekan hingga akhir tahun.

"Karena faktor Argentina mulai kena lagi dan current account defisit bukan hal yang baru dan masih akan menekan hingga akhir tahun. Semua negara emerging market tertekan juga jadi cuma ikut perlahan dari negara lain," ujar dia saat dihubungi Liputan6.com, seperti ditulis Senin (10/9/2018).

Ia menambahkan, pemerintah sudah melakukan hal yang perlu dilakukan untuk stabilkan nilai tukar rupiah antara lain penerapan perluasan biodiesel 20 persen dan mengendalikan impor. Namun, dampaknya tidak bisa langsung. "Saya rasa investor tidak terlalu khawatir karena semua juga begitu,” kata dia.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya