Peredaran Rokok Ilegal Menurun pada 2018

Peredaran rokok illegal menurun pada 2018. Angka nilai pelanggarannya sebesar Rp 909,45 miliar-Rp 980 miliar pada saat ini.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 20 Sep 2018, 16:45 WIB
Diterbitkan 20 Sep 2018, 16:45 WIB
Bungkus Rokok atau Kemasan Rokok
Ilustrasi Foto Kemasan Rokok (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Peredaran rokok illegal menurun pada 2018. Angka nilai pelanggarannya sebesar Rp 909,45 miliar-Rp 980 miliar pada saat ini.

Hal itu berdasarkan survei penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis (P2EB) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gajah Mada (FEB UGM) pada 2018.

Peneliti P2EB FEB UGM, Arti Adji mengatakan, berdasarkan survei yang dilakukan di 426 kota kabupaten di Indonesia, terdapat penurunan presentase rokok ilegal pada 2018 yaitu menjadi 7,04 persen dibanding 2016 sebesar 12,14 persen.

‎"Dari 2010-2016 ini tren meningkat. 2014  7,04 persen, 2016 12,14 persen. Di 2018 itu angkanya menurun,"‎ kata Arti, di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (20/9/2018).

Hasil perhitungan menunjukan persentase pelanggaran yang dilakukan industri rokok secara nasional adalah 7,04 persen artinya dari 100 bungkus rokok yang dijumpai di warung-warung 7,04 bukus rokok yang melangar.

Arti menuturkan, penurunan peredaran rokok ilegal merupakan dampak dari peningkatan tindakan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan dalam menindak peredaran rokok ilegal.

"Dikontrol oleh Ditjen Bea dan Cukai. Mungkin 2018 7 persen  trend penurunan tinggi Ditjen Bea Cukai lebih meningkat dalam melakukan tindakan," tutur dia.

Arti mengungkapkan, berdasarkan survei dengan berbagai pendekatan, pelanggaran rokok ilegal mencapai ‎Rp 909 miliar-Rp 980 miliar. Hal tersebut berdasarkan perhitungan setiap batang dalam satu bungkus rokok yang melanggar. Dalam survei ini, terdapat 16 ribu lebih bungkus sampel rokok ilegal.

"Setiap bungkus rokok yang melanggar setiap Batang rokok kami hitung. Nilai pelangaran ini kami hitung setiap batang besar tarif cukai. ‎ Nilai rupiah pelanggaran kami hitung total pelanggaran di setiap desa, berdasarkan sampel warung," kata dia.

 

 

Industri Kecil Minta Penyederhanaan Cukai Rokok Konsisten Berlaku

Bungkus Rokok atau Kemasan Rokok
Ilustrasi Foto Kemasan Rokok (iStockphoto)

Sebelumnya, industri hasil tembakau (IHT) kecil berharap pemerintah tetap memberlakukan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 146 tahun 2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.

Pengusaha ingin ini tetap diberlakukan sesuai tahapan karena sudah mempertimbangkan aspek keadilan dan perlindungan terhadap perusahaan rokok kecil.

Ketua Harian Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) Heri Susianto mengatakan PMK Nomor 146/2017 sudah tepat dari aspek persaingan usaha yang adil antara perusahaan rokok besar-menengah dan kecil.

“PMK No. 146/2017 itu sudah tepat bagi keberlangsungan usaha IHT kecil,” ujar dia, Kamis 6 September 2018.

Dia menilai pemberlakuan PMK Nomor 146/2017 tidak akan mematikan IHT kecil. Terutama pada Bab II pasal 3 tentang kumulasi jumlah produksi sigaret putih mesin (SPM) dengan sigaret kretek mesin (SKM).

Dia meyakinkan, pelaku produsen SPM sebenarnya tidak ada IHT menengah dan kecil. Pelaku SPM semuanya IHT besar. Semua perusahaan rokok yang memproduksi SPM juga memproduksi SKM dan masuk golongan I.

Dengan begitu, jika tidak dikumulasikan antara produksi SKM dan SPM justru menjadi pertanyaan dari aspek keadilannya karena berarti perusahaan rokok besar menikmati tarif yang lebih murah karena SPM yang mereka produksi masuk golongan II.

Karena itulah, kata Heri, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan dan Ditjen Bea dan Cukai dituntut konsisten dalam menerapkan ketentuan yang telah dibuat.

PMK 146/2017, sudah sesuai dengan roadmap IHT. Karena itulah, jika penundaan, apalagi pembatalan terhadap sebagian bab dan pasal dalam PMK tersbeut, maka berarti suatu kemunduran dalam menjalankan roadmap IHT.

Menurut Heri, perusahaan rokok yang bersikukuh menolak kumulasi SPM dengan SKM sebenarnya melakukan praktik yang tidak tepat, karena mereka sebenarnya tergolong perusahaan rokok besar.

“PMK tersebut merupakan bagian dari program simplifikasi tarif cukai yang berkeadilan. Karena itulah, kami sebagai pelaku IHT kecil, jelas mendukungnya,” ujarnya.

Namun, dia mengingatkan, untuk produk IHT yang tidak tergantikan, yakni sigaret kretek tangan (SKT), maka pengembangan produksinya perlu didorong dengan berbagai kebijakan kemudahan dan pemberian stimulus tarif cukai sehingga memberikan ruang gerak yang lebih luas.

Apalagi trennya, konsumsi SKT terus menurun, kalah bersaing dengan SKM dan SPM. Padahal dari sisi sumbangan terhadap penyerapan tenaga kerja, SKT banyak menyerap tenaga kerja sehingga membantu pemerintah dalam mengurangi angka pengangguran.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya