Liputan6.com, Jakarta Indonesia dikhawatirkan mengalami krisis energi dalam 30 tahun ke depan. Hal ini jika cadangan energi fosil habis dan tidak ada energi alternatif yang dikembangkan sebagai penggantinya.
Pengamat Energi Marwan Batubara mencontohkan batu bara contohnya, saat ini cadangan energi di Indonesia terus berkurang. Sedangkan eksplorasi untuk menemukan cadangan batu bara baru minim dilakukan.
"Kita kurang melakukan eksplorasi untuk mencari cadangan batu bara baru. Potensi memang tidak ada, tetapi kalau tidak dipastikan dengan eksplorasi, kita tidak bisa klaim kalau kita punya cadangan," ujar dia di Jakarta, Rabu (26/9/2018).
Advertisement
Kondisi ini juga diperburuk lagi langkah ekspor batu bara besar-besaran yang dilakukan pertambangan di Indonesia. Sehingga bukan tidak mungkin status Indonesia sebagai negara eksportir akan berubah menjadi importir.
"Cadangan energi fosil kita dalam kondisi yang terus berkurang. Kalau bicara batu bara, cadangan kita termasuk yang kecil tetapi kita merupakan eksportir terbesar di dunia. Jadi sudah tahu cadangan terus mengecil, kebutuhan untuk listrik terus bertambah, tetapi eksportir kita umbar terus sehingga kita bisa menjadi importir batu bara dalam 8-10 tahun ke depan," kata dia.
Menurut Marwan, saat ini cadangan batu bara Indonesia diperkirakan sebesar 20 miliar ton. Namun dengan produksi batu bara sekitar 450 juta ton per tahun, artinya cadangan batu bara Indonesia hanya akan cukup hingga 40 tahun dan kemudian habis.
"Kalau kita terus ekspor, maka kita tidak punya lagi. Kalau minyak kira-kira 3,6 miliar barel. Gas sekitar 110 triliun cubic feet. Itu termasuk kecil juga. Minyak dengan rate 800 juta barel per tahun, mungkin akan habis dalam 12 tahun. Kalau gas habis dalam 20-30 tahun. Maka cadangan itu sangat perlu," jelas dia.
Jika cadangan energi fosil ini sudah habis semua, maka Indonesia akan mengalami krisis energi. Kecuali jika pemerintah secara serius mau mengembangkan energi alternatif seperti yang dilakukan oleh negara-negara alain.
"Kecuali orang menemukan yang alternatif. Negara lain memang mengembangkan itu, tetapi kita tidak melakukan. Jadi alternatif tidak ada, dan yang konvensional tidak bertambah, bisa jadi krisis," tandas dia.
Pemerintah Diminta Konsisten Terapkan Kebijakan B20
Kebijakan pemerintah terkait pencampuran minyak sawit atau CPO ke Solar sebesar 20 persen (B20) diharapkan tidak hanya demi kepentingan industri sawit dalam negeri. Kebijakan ini juga harus memperhatikan soal ketahanan energi nasional yang juga menjadi masalah serius ke depan.
Pengamat Energi Marwan Batubara mengatakan, dasar pemerintah menerapkan kebijakan ini memang dalam rangka menekan defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD). Namun dia khawatir jika kebijakan tersebut sebenarnya hanya demi menyelamatkan industri CPO dan mengabaikan masalah ketahanan energi nasional.
"Soal B20, hingga akhir tahun ada 2,5 juta kiloliter (kl) biodisel yang dicampur dengan Solar, itu bisa hemat devisa USD 1 miliar. Tahun depan 5-6 juta kl dan hemat USD 3 miliar-USD 3,5 miliar. Ini memang menolong, tapi harus konsisten. Jangan sampai ini hanya untuk menolong industri CPO," ujar dia dalam diskusi Menyoalkan Kebijakan Energi Nasional di Jakarta, Rabu (26/9/2018).
Baca Juga
Saat ini industri CPO memang tengah menghadapi sejumlah tantangan. Mulai dari harga jual yang turun hingga kampanye negatif yang dilakukan oleh sejumlah negara.
"Ini di 2015-2016 pemerintah juga gencar soal CPO. Karena harga CPO saat itu sedang turun. Waktu itu turun ke USD 400 per ton, dari biasanya USD 700. Sekarang permintaan turun, masalah boikot oleh Eropa, kemudian India terapkan pajak masuk, sehingga permintaan kita turun," ungkap dia.
Oleh sebab itu, lanjut dia, penerapan kebijakan ini harus dilakukan secara konsisten. Jangan kebijakan ini diberlakukan ketika harga CPO turun, sedangkan ketika harga tinggi, kebijakan tersebut dilupakan dan menjadi masalah baru bagi ketahanan energi nasional.
"Di industri ini, 30 persen pemilik industri sawit dari asing seperti Singapura, kemudian para pengusaha besar. Sedangkan petani hanya 3 persen. Jadi jangan hanya untuk industri sawit semata dan ujungnya ketahanan energi jadi terganggu," tandas dia.
Advertisement