Liputan6.com, New York - Ambisis miliarder Vinod Khosla yang ingin menutup akses publik ke Pantai Martin di California yang tersambung ke properti yang dia miliki. Akhirnya, tindakan tersebut disudahi oleh Mahkamah Konstitusi.
Dilansir Fortune, Vinod Khosla awalnya meminta bayaran USD 10 per hari untuk orang yang ingin masuk ke Pantai Martin. Peraturan itu sebetulnya sama dengan apa yang dilakukan pemiliki properti yang sebelumnya.
Namun, biaya pemeliharaan pantai semakin mahal. Khosla pun memutuskan untuk menutup akses ke pantai tersebut.
Advertisement
Baca Juga
Pada 2010, Khosla mulai mendirikan gerbang dan menyiagakan penjaga bersenjata di jalan masuk. Kalangan peselancar pun gerah dan membawa kasus ini ke meja hijau.
Tidak mau kalah, Khosla menuntut menuntut setidaknya tiga badan pemerintahan setempat karena dianggap ikut campur dalam hak properti miliknya, namun pengadilan San Mateo menolak perkara tersebut, demikian lansiran Los Angeles Times.
Belum berhenti di sana, pihak peselancar lanjut menuntut Khosla karena disebut tidak melengkapi izin pengembangan yang dibutuhkan untuk mengubah akses publik ke pesisir. Ini berujung pada perintah pengadilan agar Khosla membuka gerbang menuju pantai.
Akhirnya, awal tahun ini Khosla membawa kasus ini ke Mahkamah Konstitusi, tetapi ditolak. Pihak peselancar pun gembira atas kabar ini.
"Kami melindungi hak semua orang untuk mengunjungi, menikmati, dan melindu pantai, tanpa pandang ras, kelas sosio-ekonomi, atau lokasi tempat tinggal," ujar Angela Howe, direktur legal The Surfrider Foundation Rights.
Vinod Khosla merupakan investor pendiri perusahaan hardware komputer Sun Microsystem pada 1982. Menurut Forbes, harta miliarder ini berjumlah USD 2,3 miliar atau 34,6 triliun (USD 1 = 15.064).
Balas Budi ke Guru, Miliarder Tiongkok Hibahkan Rp 56 Miliar
Semakin banyak miliarder yang memberikan kontribusi terhadap dunia filantropis. Setelah nama Bill Gates, Warren Buffett, dan Jack Ma, kali ini aksi mulia dari miliarder asal Tiongkok Charles Chen Yidan mendapat sorotan.
Dilansir dari Bloomberg, salah satu pendiri Tencent yang meninggalkan jabatannya sebagai Chief Administrative Officer pada 2013 untuk fokus pada filantropi. Fokus utamanya adalah dunia pendidikan.
Pendidikan menjadi fokus Yidan karena ia memandang kesuksesannya berasal dari pendidikan.
"Ayah saya dari daerah perkampungan. Dia adalah orang pertama dari keluarga yang kuliah. Nenek saya yang bersikeras. Pendidikan mentransformasikan kehidupan ayah saya, dan kemudian kehidupan saya," ucap Yidan.
Sebuah anugerah tahunan bernama Yidan Prize pun diprakarsainya pada 2016. Penerima anugerah itu adalah seorang peneliti dan guru yang mentransformasi edukasi dalam cara yang berkelanjutan.
Tahun ini, Yidan Prize diberikan pada Larry Hedges, profesor dari Universitas Northwestern dan Anant Agarwal, pendiri platform edukasi edX.
Yidan Prize menyebut diri mereka sebagai hadiah pendidikan terbesar di dunia. Tahun ini, anugerah itu diumumkan di Hong Kong.
Pemenang Yidan Prize mendapat hadiah berupa medali emas dan uang 30 juta dolar Hong Kong atau Rp 57,6 miliar ( HKD 1 = Rp 1.922).
Uang hadiah itu dibagi menjadi dua bagian, yakni HKD 15 juta (Rp 28,8 miliar) hadiah uang dan sisa HKD 15 juta lagi untuk pendanaan proyek.Â
Miliarder ini percaya bahwa aksi filantropis seperti ini akan diikuti para orang Tiongkok lainnya. ""Ya, saya pikir kita akan melihat aksi yang lebih banyak. Budaya tradisional Tiongkok adalah sangat suportif pada filantropis," ujarnya.
Advertisement