Liputan6.com, London - Petinggi International Monetary Fund (IMF) memepringatkan awan badai sedang mengelilingi ekonomi global. Permasalahannya adalah pemerintah dan bank sentral belum tentu dapat menghadapinya.
Dilansir dari Reuters, Rabu (12/12/2018), IMF telah mendorong pemerintah-pemerintah untuk "membetulkan atap" saat ekonomi dalam dua tahun terakhir masih cerah. Sayangnya, sampai saat ini hal itu belum berhasil dilaksanakan.
Advertisement
Baca Juga
"Seperti banyak dari kalian, saya melihat terbentuknya awan badai, dan khawatir pekerjaan untuk mencegah krisis masih belum selesai," ucap First Deputy Managing Director IMF David Lipton.
"Bank-bank sentral sepertinya akan mengambil tindakan yang tidak konvensional," lanjutnya. Lipton memandang kebijakan demikian memiliki keefektifan yang jelas, dan ia pun mengungkapkan rasa khawatir mengenai kekuatan (potency) dari kebijakan moneter.
Untuk stimulus, Lipton meragukannya karena beban finansial yang dapat diciptakan. Kondisi pun dipandang berbeda dari krisis finansial pada 2008. Lipton memandang pemerintah saat ini tidak bisa bermanuver sebebas 10 tahun lalu.
Untuk ancaman jangka pendek, IMF menyebut perang dagang. IMF memperkirakan tiga per empat GDP global akan lenyap pada 2020 akibat adu tarif yang berlangsung antara Amerika Serikat dan China. Gencatan senjata antar kedua negara pun dianggap berlangsung lama.
"(Perang dagang) dapat melukai diri sendiri. Jadi penting agar gencatan senjata ini membawa menuju persetujuan yang tahan lama yang menghindari intensifikasi atau melebarnya ketegangan," jelasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Sri Mulyani: Gencatan Perang Dagang AS-China Bisa Tenangkan Pasar
Pertemuan G20 berhasil mencairkan suasana perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China. Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping mengambil keputusan gencatan senjata alias penundaan terhadap langkah-langkah kenaikan tarif selama 90 hari.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyambut baik hasil pertemuan tersebut meskipun tidak berarti ada penurunan tarif dagang kedua negara. Menurutnya, hal ini bisa menenangkan pasar yang sebelumnya banyak diguncang ketidakpastian.
"Tidak berarti apa yang sudah dilakukan tarifnya sudah turun. Paling tidak memberikan 3 bulan atau 90 hari bagi kedua belah pihak melihat aspek kesepakatan yang bisa menenangkan dari sisi awal tahun," ujar Menkeu Sri di Ritz Carlton, Jakarta, Senin, 3 Desember 2018.
Sri Mulyani melanjutkan, pertemuan G20 juga membawa solusi bagi fluktuasi harga minyak dunia yang terus terjadi. Arab Saudi dan Rusia dalam kesempatan tersebut, bersedia melakukan diskusi mengenai ketersediaan pasokan minyak.
"Dari sisi minyak ada Rusia ada Saudi Arabia yang mereka bisa melakukan diskusi mengenai bagaimana mereka akan melihat respons dari pasar minyak dengan adanya supply kemudian proyeksi yang ada ke depan," jelasnya.
"Ini juga memunculkan suatu stabilitas dari sisi paling tidak kepastian supply-demand. Sehingga harganya tidak velotile naik secara drastis," sambungnya.
Hal-hal positif hasil pertemuan G20 ini, kata Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut, masih dibayangi oleh sejumlah resiko. Sebab, mekanisme tersebut belum dianggap sebagai suatu mekanisme yang reliable atau dapat diandalkan.
"Hal-hal positif ini masih dibayangi oleh hal-hal yang tidak pasti. Pertama, bahwa mekanisme tadi, multilateral, belum dianggap sebagai mekanisme yang reliable. Oleh karena itu, pesan dari G20 melakukan reformasi terhadap perdagangan dunia," tandasnya.
Advertisement