Liputan6.com, Jakarta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengeluarkan rekomendasi mekanisme kepemilikan 10 persen saham PT Freeport Indonesia oleh pemerintah daerah (Pemda) Papua, melalui pembagian dividen atas hasil kegiatan produksi.
Anggota IV BPK Rizal Djalil mengatakan, rekomendasi lewat dividen karena dalam proses pembagian saham dengan pemda kerap muncul penumpang gelap yang berasal dari luar Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) terkait. Alhasil daerah tidak merasakan hasil kegiatan produksi.
Advertisement
Baca Juga
"Secara pengalaman empiris kita, yang BUMD kerjasama sama penumpang gelap," kata Rizal, di Gedung BPK, Jakarta, Rabu (19/12/2018).
Menurut Rizal, untuk mengintisipasi hal tersebut terjadi, maka kepemilikan 10 persen saham Freeport Indonesia sebaiknya tidak dengan mekanisme penyertaan modal, tetapi melalui pembagian dividen.
"Jadi bukan penyertaan modal. Tetapi melalui deviden. Itu paling aman," tutur dia.
Rizal mengungkapkan, kepemilikan saham melalui pembagian dividen akan tepat sasaran, sehingga masyarakat merasakan kepemilikan saham oleh Pemda Papua. Hal ini juga menjadi amanat Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Ini supaya 10 persen sesuai amanah presiden. Jadi milik rakyat Papua," tandasnya.
Harapan Putra Asli Papua pada Divestasi Saham Freeport
Senior Vice President PT Freeport Indonesia, Silas Natkime mengharapkan adanya kontrak dalam divestasi saham PT Freeport Indonesia tidak hanya melibatkan pemerintah Indonesia dengan Freeport. Pria yang merupakan putra asli Papua ini ingin agar masyarakat adat juga dilibatkan dalam kontrak divestasi saham tersebut.
"Kontrak segitiga itu kami sebagai pemegang hak ulayat harus tandatangan, pemerintah tandatangan dan perusahaan juga tandatangan. Supaya nanti hasil untungnya itu pemerintah untung, perusahaan untung dan kami orang Papua juga untung," ujar dia di Jakarta, Rabu (12/12/2018).
Baca Juga
Dia menekankan pentingnya dialog segitiga antara pemerintah Indonesia, PT Freeport Indonesia dan perwakilan suku-suku pemegang hak ulayat yang ada di sekitar konsesi pertambangan PT Freeport Indonesia.
"Selama ini pemegang hak ulayat tidak dilibatkan dalam dialog, hanya itu internal pemerintah dengan perusahaan saja. Kalau pemegang hak ulayat dilibatkan akan lebih mudah untuk kita bisa selesaikan. Tapi kalau hanya dua pihak saja tidak akan mungkin selesai," tutur dia.
Menurut Silas, keterlibatan pemegang hak ulayat dinilai sangat penting lantaran mereka adalah rakyat Papua yang bersentuhan langsung dengan dampak pertambangan PT Freeport Indonesia.
"Memang semua pihak tidak mau kalah dalam urusan PT Freeport Indonesia ini. Tapi saya jamin, masyarakat Papua betul-betul tulus karena ini adalah untuk kepentingan kami juga, demi kemajuan Papua," kata dia.
Advertisement